Breaking News

Budaya Sebagai Hak Asasi Manusia dan Identitas Bangsa

 


Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Paham kebangsaan, atau yang juga diistilahkan 'nasionalisme' , yang menjadi dasar terbentuknya kehidupan bernegara bangsa, sesungguhnya tidaklah hanya ber hakekat kan makna politik melainkan juga budaya. Adalah kenyataan sejarah, bahwa di negeri negeri Barat tempat kelahiran dan berkecambah nya idee dan ideologi nasionalisme sepanjang abad ke 17, lahirnya kesadaran berbangsa itu bersamaan waktu dengan bangkit nya kesadaran akan adanya ketunggalan budaya sebagai mana dinyatakan dalam fakta adalah kesamaan bahasa. Ber ketunggalan bahasa dapat lah dipahami sebagai ber ketunggalan warisan budaya yang asal muasal dari moyang yang sama.

Pada dasarnya nasionalisme yang bernuansa politis itu menuntut diwujudkan dan dipertahankannya semangat persatuan dan bahkan kesatuan, demi terjaminnya keserempakan gerak tatkala harus menghadapi segala bentuk ancaman asing. Dari sinilah awal mula kecenderungan setiap negara bangsa untuk memperkuat kekuatan sentral, dan untuk maksud itu lalu juga membangun aparat birokrasi, yang memerlukan standarisasi bahasa dan unifikasi hukum demi keefektifan komunikasi dan fungsi kontrol nya. Sentralisasi dan standarisasi dan unifikasi yang didasari motif motif politis seperti itu tak akan sejalan dengan kecenderungan alami yang selalu dijumpai dalam kehidupan sosial dan kultural, yaitu kecenderungan untuk mengapresiasi perbedaan dan keragaman.

Nasionalisme yang berparadigma politis, dengan struktur nya yang birokratik dan acap kali juga berwatak otokritik - patriarkik, jelas jelas kalau menolak pluralisme yang dikhawatirkan oleh nya - yang oleh sebab itu juga boleh dituduh- hanya akan mengundang datangnya lokalisme, dan bahkan mungkin juga etno-nasionalisme yang akan berseterus ke separatisme.

Namun apapun juga kekhawatiran para nasionalis yang lebih meyakini kebenaran paradigma yang politik daripada yang kultural itu, realitas selalu membuktikan bahwa suatu negara bangsa - khususnya yang dibangun sebagai negeri suatu bangsa baru dengan cara mengintegrasikan bangsa bangsa tua yang kini terdegradasi dalam status nya "hanya" sebagai suatu suku bangsa- akan sulit bersitegak apabila hanya mengandalkan otoritas politis politik semata.

Kesadaran bersamaan budaya sebagai dasar legitimasi eksistensi negara bangsa.adalah sesungguhnya sebuah awal perkembangan suatu ideologi yang disebut nasionalisme. 

Dari nasionalisme ini lahirlah ide dan usaha ke dalam suatu kehidupan bernegara.untuk merealisasikan terwujud suatu negara kesatuan. 

Yang masih menjadi masalah di sini ialah, ketika eforia politik mulai mereda, sekuat apapun paham nasionalisme itu, apakah tegak nya suatu nation itu- khususnya di suatu negeri yang ber tradisi majemuk (bhinneka Ika) seperti Indonesia - dapat diupayakan begitu saja tanpa menghadirkan landasan kultural yang solid.?.

Sesungguhnya pula, kehidupan berbangsa itu adalah kehidupan yang terkonstruksi di atas landasan identitas yang cenderung abstrak dan imajiner. Kehidupan berbangsa tidaklah sekonkrit , seempirik atau seobyektif kehidupan suku (tribel life) atau mungkin juga kehidupan suku bangsa (ethnic life), yang jelas merupakan suatu pengalaman kultural yang lokal serta pula lebih konkret, empirik dan objektif. Dalam kehidupan suku dan suku bangsa, tradisi dan kebudayaan itu merupakan pengalaman manusia warga sehari hari dan berfungsi amat signifikan sebagai rujukan normatif yang sentral dan berdaya integratif. Maka akan menjadi persoalan yang pelik, apakah dalam kehidupan berbangsa modern "beyond' the tribal and ethnic life itu upaya membangun kesadaran dan solidaritas politik saja sudah cukup?. Adakah kehadiran suatu bangsa modern sebagai suatu realitas akan dapat dipertahankan dan dilestarikan tanpa kehadiran kesadaran.berkesamaan tradisi dan / atau budaya.

Adapun upaya orang untuk menegaskan nasionalisme sebagai ideologi politik, variabel kultural rupanya tidaklah dapat diabaikan begitu saja sebagai salah satu faktor determinan atau prederterminan yang tidak dapat diabaikan. Tradisi lokal yang berkembang sepanjang sejarah eksistensi suku suku etnisitas tua terbukti merupakan prederterminan politik dan ideologi ide serta ideologi politik, tak kurang kurang nya juga tersimak dalam kehidupan Bangsa Bangsa baru yang berhasil memodernisasi diri.

Maka, demi fungsi dalam jangka panjang, tidaklah akan salah lagi bila nasionalisme modern sebagai kekuatan pengintegrasi akan memerlukan kekuatan penopang yang lebih riil namun inspiratif, ialah kekuatan budaya yang mempunyai akar tradisi nya dalam kehidupan kelompok kelompok etnis setempat. Legitimitas setiap penggunaan kekuasaan politik tidaklah cukup kalau cuma mendasar kan diri pada produk produk legislatif yang terminologi di tangan para pejabat pengemban kekuasaan negara, yang sayang nya atau celakanya?, banyak yang tidak lagi banyak mengenal 'the first culture of the local (ethnic) people'. Padahal, khususnya lagi pada tahap tahap implementasi nya, variabel variabel sosial dan budaya mau tidak mau pastilah akan ikut berbicara sebagai determinan, atau setidaknya sebagai variabel yang tidak dapat diabaikan begitu saja.***

*) Penulis adalah Ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan.