Breaking News

Makna "Lutut" Dalam Adat dan Ibadah


 Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Tulisan ini sekedar ilustrasi, bukan bermaksud menyampaikan adat dan agama tapi sekedar analisis bahwa Allah menciptakan manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Karena di dalam dirinya terdapat bagian bagian yang penuh makna misalnya LUTUT.

Di dalam ajaran agama Islam lutut merupakan atau digunakan salah satunya untuk di pegang saat kita RUKUK, saat Sholat. Sebab tidak sempurna sholat seseorang di saat dia rukuk tidak menempel jari tangan nya (memegang lutut), . Yakin kalau yang bersangkutan memegang pahanya, posisi badannya terlihat tercungak, demikian juga kalau dia megang betis yang bersangkutan maka posisi rujuknya sedikit tertunduk. Kedua kondisi posisi badan tersebut (tercungak dan tertunduk akibat yang bersangkutan tidak memegang bagian lutut nya.

Hal ini pernah di Sabda Rasulullah Saw, bahwa beliau memisalkan seandainya diletakkan segelas air di atas punggung seseorang di saat ruku' nya sempurna maka airnya di dalam gelas tersebut tidak tumpah.

Di dalam adat budaya rupanya lutut juga di jadikan standar sebagai simbol seseorang yang sedang menggunakan busana adat yaitu pemaknaan dari status sosial seseorang di dalam masyarakat.

Yaitu apabila seseorang memakai kain Tumpak ujung kain tersebut di tas lutut nya bermakna yang bersangkutan masih berstatus remaja ( bujang- belum berkeluarga), tentu di dalam adat istiadat tradisi yang berlaku dia punya peranan berbeda dengan orang tua yang sudah berumah tangga.

Demikian juga halnya apabila yang memakai kain Tumpak tersebut di mana ujung kain tumpak itu melewati Lutut namun tidak sampai ke mata kaki maka pertanda bahwa si pemakainya adalah orang yang sudah berkeluarga (berumah tangga). 

Semua tanda tanda itu berpengaruh pada fungsi dan peranan mereka dalam komunitas sebagai anggota masyarakat hukum adat.

Di dalam masyarakat komunitas masyarakat hukum adat kumoring: apabila seseorang telah menikah akan diberi gelar atau jejuluk / adok.

Adok atau jejuluk digunakan sebagai nama panggilan atau sebutan bagi anggota keluarga dan kerabat serta masyarakat. Yang bersangkutan tidak boleh atau pantangan di panggil dengan nama nya sehari hari sewaktu dia masih remaja. Demikian juga dengan isterinya akan dipanggil dengan panggilan jejuluk tersebut. Kalau di dusun Minanga (tongah dan balaq) isteri jajuluknya ditambah kata Nai.

Misalnya suaminya Fulan bin Fulan diberikan jajuluk atau adok Adi Pati Anom, maka isterinya di panggil Nai Adi Pati Anom.

Jadi kalau kita sinkronkan dengan masalah tumpak tadi maka apabila seseorang yang sudah menikah berarti yang bersangkutan sudah mempunyai adok atau jajuluk. Sebagai tanpa hormat dan membedakan status sosial tapi bukan bermakna diskriminatif sebagai konsep barat.

Kaitan antara adat dan agama ini memang sudah mendarah daging sejak jaman phuyang kita dulu, di masyarakat Melayu ada pepatah Adat Bersendi Syara', Syara' bersendi Kitabullah.

Di dalam ilmu hukum adat modern yang dikembangkan oleh sarjana Belanda bernama Prof. Van Keyzer dan Prof. Van den Berg, yang mengatakan bahwa adat suatu masyarakat adalah cerminan dari agama dan kepercayaan yang di anut mereka. Ini namanya Teori Receptcio in complektio.

Teori ini berkembang walaupun ada juga pendapat yang bertolak belakang seperti Prof. Dr. Snouck Hurgronje bahwa agama baru berlaku jika sesuai dengan adat. 

Dan terakhir teori Snouck Hurgronje ini dipatahkan oleh Prof Dr. Hazairin SH Guru Besar ilmu hukum adat dan Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersatu muridnya Sayuti Thalib, SH, menyebutkan teori Resepsi (Snouck Hurgronje) sebagai teori IBLIS.

Hazairin mengeluarkan teori yang sangat terkenal disebut Teori Receptcio A Contrario (juga menjadi nama buku) Receptcio A Contrario bersama Sayuti Thalib, SH.

Kita di Sumatera Selatan teori Receptcio in complektio ini diteruskan oleh Prof. Dr. Van den Bosch yang memerintahkan untuk mencetak dan memperluas (memberlakukan) apa yang kita kenal dengan SIMBUR CAHAYA.

Ada yang menyebut sebagai Undang Undang, itu tidak salah karena dalam kata pengantar terbitan kolonial di sebut dengan WET oleh Tridmen dan Hens mereka merupakan de residen Palembang.

Untuk memisahkan makna UU adalah WET, maka penulis memakai istilah KOMPILASI (yang berarti himpunan karangan seseorang atau kelompok orang ahli tentang sesuatu).

Dan ini bukan HUKUM ADAT yang di Kitab kan atau dibukukan. Karena yang dimaksud dengan hukum adat adalah hukum asli Indonesia yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang di sana sini mendapat pengaruh agama (hasil seminar hukum adat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 15-17 Januari 1975.

Istirahat Kompilasi bukan buatan penulis, untuk tampil beda dengan orang lain. Tapi hasil testimoni Prof. Dr. H.M. Koesno SH, Guru Besar ilmu hukum adat Universitas Airlangga Surabaya dan beberapa Universitas di luar negeri misalnya Nijmegen University Belanda.

Testimoni tersebut beliau sampaikan saat Dewan Penasehat dan Pembinaan Adat Istiadat Sumatera Selatan akan menyusun Buku Tentang Hukum Adat di 10 Kabupaten kota Sumatra Selatan (sebelum pemekaran). Surat beliau tertanggal 21 April 1997.

Contoh yang sudah menasional adalah KOMPILASI HUKUM ISLAM, yang dijadikan rujukan oleh hakim hakim Pengadilan Agama dalam kasus kasus perselisihan antara umat yang beragama Islam sesuai kompetensinya (absolut dan relatif).

Demikian juga nanti nya Kompilasi Hukum Adat, bisa digunakan oleh hakim hakim Peradilan Umum dalam memeriksa kasus pidana (tindak Pidana) ataupun juga kasus perdata.

Kasus pidana (tindak Pidana - perbuatan pidana dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang Hukum Pidana mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 597 KUHP baru).

Tentu akan menggunakan keterangan ahli yaitu ahli adat, salah satunya adalah pengurus dan atau anggota Pembina Adat dan atau Pemangku Adat.Atau bisa juga seorang tokoh adat.***

*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan