Breaking News

Ringkasan Tulisan dengan Judul “Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia di Indonesia Sebagai Diplomasi” Ditulis Oleh Syaiful Anwar dan Muhammad Yunus


Jendelakita.my.id. - Berikut adalah ringkasan Tulisan “Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia di Indonesia Sebagai Diplomasi” yang ditulis oleh Syaiful Anwar dan Muhammad Yunus pada tahun 2020 dan diterbitkan pada tahun 2020 dalam Prosiding The 1st International Seminar on Islamic Diplomacy “Strenghthening the Islamic Diplomacy in Worldwide”.

Berikut adalah ringkasan tulisan tentang “Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia di Indonesia Sebagai Diplomasi”

1. Hukum pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)

Pada masa pendudukan Jepang, diberlakukan Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osamu Seirei) No. 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang ini menyatakan bahwa semua badan pemerintahan dan hukum dari pemerintahan sebelumnya tetap diakui sah selama tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Ini termasuk Hukum Adat, Hukum Agama, BW, GHR, dan HOCI.

2. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945)

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia merumuskan Undang-Undang Dasar dengan ketentuan peralihan yang mengakui keberlakuan hukum yang ada sampai dibuatnya peraturan baru. Ini berarti Hukum Adat, Hukum Agama, BW, GHR, dan HOCI tetap berlaku sementara waktu.

3. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Indonesia mengalami kesulitan dalam unifikasi hukum perkawinan hingga akhirnya pada tahun 1974 disahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

4. Unsur-unsur Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974

·             Ikatan lahir batin: perkawinan mencakup proses lahir dan batin.

·             Pasangan pria dan wanita: hanya antara seorang pria dan seorang wanita.

·             Tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal: mengutamakan keutuhan keluarga.

·             Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa: dilangsungkan menurut tata cara agama masing-masing.

5. Kontroversi dan Tafsir Pasal 2 Ayat 1

Pasal ini menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Pendapat ahli hukum terbagi:

·             Satu kelompok berpendapat hanya orang dengan agama yang sama bisa menikah.

·             Kelompok lain menganggap mungkin untuk berbeda agama asalkan sesuai kepercayaan masing-masing.

6. Perkawinan Campuran

Dalam UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan campuran adalah antara dua orang dengan kewarganegaraan berbeda. Definisi ini lebih sempit dibandingkan peraturan sebelumnya.

7. Pandangan Beberapa Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama

·             Katolik: Dilarang tanpa izin dari otoritas gereja.

·             Protestan: Pada prinsipnya dilarang.

·             Islam: Terdapat dua kondisi:

ü                      Pria Muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik.

ü                      Pria Muslim boleh menikah dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Nasrani), tetapi wanita Muslim tidak boleh menikah dengan pria bukan Islam.

8. Praktek Perkawinan Beda Agama

Beberapa tata cara melangsungkan perkawinan beda agama dalam praktek meliputi:

ü      Berdasarkan otoritas agama: Misalnya, pasangan Islam dan Kristen yang menikah menurut tata cara salah satu agama.

ü      Berdasarkan catatan sipil: Pasangan yang mempertahankan agama masing-masing.

ü      Pernikahan di luar negeri: Pasangan yang melangsungkan perkawinan di luar negeri karena ingin mempertahankan agama masing-masing.

9. Yurisprudensi Mahkamah Agung

Mahkamah Agung pernah mengabulkan permohonan perkawinan beda agama antara seorang Muslim dan seorang Kristen, dengan pertimbangan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak melarang perkawinan beda agama dan mengisi kekosongan hukum..***