Pesirah Adat Sebagai Hakim Perdamaian
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Judul di atas terdiri dari dua kelompok makna yaitu Istilah Pesirah Adat dan satu lagi adalah Hakim Perdamaian.
Agar jangan sampai menimbulkan majemuk makna, penulis ingin menguraikan dahulu satu persatu istilah tersebut (Pesirah Adat - Hakim Perdamaian).
Istilah Pesirah Adat sebenarnya baru penulis dengar dari dari Gubernur Sumatera Selatan waktu itu sekitar akhir tahun 2019 yaitu bapak H. Herman Deru SH MM di ruang tamu , dan di saat diucapkan nya waktu pelantikan Pengurus Pembina Adat Sumatera Selatan periode 2019-2024 bertempat di griya agung Palembang tanggal 29 Desember 2019.
Makna istilah Pesirah Adat adalah untuk memisahkan tugas dan fungsi seorang Kepala Desa dengan Tokoh tokoh adat yang berada di desa (ex Marga- wilayah satu kecamatan).
Karena dahulu sebelum dihapuskan nya pemerintahan marga dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 Jo Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 JIS Kemendagri RI no 11 tahun 1984 - Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 tanggal 24 Maret 1983 yang berlaku tanggal 1 April 1983), yang menghapus sistem pemerintahan marga beserta perangkat nya.
Fungsi Pesirah saat itu memegang otoritas lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif bersama sama dengan Dewan Marga).
Setelah berlalunya Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang disahkan pada tanggal 1 Desember 1979 Lembaran Negara tahun 1979 no 56.
Fungsi dan tugas Pesirah tersebut dialih tugaskan kepada Kepala Desa tentang dengan tugas dan fungsi yang sudah disanir oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.
Untuk itu Prof. Dr. Soerjono Soekanto SH MA, membuat buku khusus membahas tugas dan fungsi Kepala Desa sebagai Hakim Perdamaian, 1986).
Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983, hanya menghapus fungsi marga sebagai sistem Pemerintahan MARGA saja. Sedangkan Marga dalam arti Kesatuan Masyarakat Hukum Adat tetap diakui. Dasarnya kita buka butir ketiga dari Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan tersebut.;
Sambil menunggu petunjuk lebih lanjut dari pemerintah pusat cq Departemen Dalam Negeri, mengakui marga marga dalam wilayah propinsi daerah tingkat I Sumatera Selatan yang ada sekarang sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan sebutan LEMBAGA ADAT sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan dan ketahanan Nasional.
Hakim perdamaian, menurut pasal 3a Rechterlijk Ordonanantie, seorang hakim desa (dorpsrechter) menjatuhkan keputusan menurut hukum adat. Artinya, hakim menjatuhkan keputusan yang merupakan suatu perdamaian.
oleh karena hakim desa tidak boleh untuk menjatuhkan hukuman..
Menurut Soepomo : Hakim desa memeriksa semua perkara, yang menurut hakim adat termasuk yurisdiksinya. Pada umumnya adalah perkara yang lazimnya dikatakan sebagai urusan desa. Pertama Tama itu mengenai perkara, semata mata antara teman teman sedesa, tentang tanah, perkawinan, mas kawin dan urusan keluarga lainnya, perbuatan perbuatan pidana terhadap tatanan desa dan sebagainya.
Kedudukan hakim perdamaian desa tersebut sebenarnya tidak lah sejajar dengan hakim pengadilan negeri. Hal itu, antara lain disebabkan karena menurut ayat 2 pasal 3a Rechterlijk Ordonanantie ketentuan dalam pasal 3a ayat 1 tidaklah mengurangi hak dari fihak yang berperkara untuk mengajukan perkara nya kepada hakim bisa. Pasal 120a HIR dan 143 a RBg juga memperkuat pendapat tersebut di atas. Dalam pasal 3a ayat 3 Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 dinyatakan, keadaan hakim perdamaian di desa tetep dilanjutkan, yang sebenarnya bukan menyangkut kekuasaan mengadili. Hakim pengadilan negeri tidak terikat dengan keputusan hakim perdamaian desa: mereka hanya diharuskan memperhatikan keputusan tersebut. Akan tetapi suatu keputusan desa, tidak dapat dibatalkan Oleh Pengadilan Negeri: demikian menurut keputusan Mahkamah Agung 8 Januari 1958.
Kembali kepada istilah Pesirah Adat ide bapak Herman Deru SH MM, bermakna sebagai hakim perdamaian dia hanya menyelesaikan perselisihan perselisihan dengan cara perdamaian antar pihak yang berselisih baik bersifat keperdataan maupun Tindak Pidana (delik adat istilah umum nya).
Dia tidak mengurusi yang bersifat administratif sebagai mana fungsi kepala desa. Setidak tidaknya sebagai mitra Kades.
Hal itu sesuai dengan Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 yang mengakui kesatuan masyarakat hukum adat yang diatur segala lembaga kemasyarakatan.(Desa Adat).
Dan fungsi sebagai hakim perdamaian juga telah diakomodir dengan Undang Undang Nomor 1 tahun 2023 pasal 597 yang Mengakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Yang tentunya baik kelembagaan adat (Pesirah Adat) dan fungsi serta wewenang nya serta subtansi hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut harus didasarkan pada Peraturan Daerah.
Kesimpulan bahwa Menghidupkan Makna Pesirah Adat sebagaimana idee bapak H. Herman Deru SH MM dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat hukum adat ex. Marga (menurut Prof. H. Amrah Muslimin SH ada 188 ex Marga-).
Kedua mengharapkan Forum Masyarakat Peduli Sumatera Selatan (FMPSS), dalam salah satu programnya untuk mendorong dibentuknya lembaga Pesirah Adat itu.
Dan H. Herman Deru SH MM dpt merealisasikan idee dimaksud dimasa berikutnya.***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan (Dewan Pakar FMPSS)