Breaking News

Kronologis Tentang Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat


 Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id -  Artikel ini ingin mencoba menurunkan kronologis tentang Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Negara Terhadap Eksistensi dan Hak Masyarakat Hukum Adat, khusus setelah memasuki era reformasi.

1, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor TAP -XVII/MPR/1998 Pasal 41.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ini mempunyai posisi historis sebagai landasan hukum konstitusional pertama yang secara formal mengakui eksistensi dan hak masyarakat tradisional di Indonesia sejak merdeka. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa suasana keterbukaan serta semangat anti sentralisasi kekuasaan yang tumbuh dalam era reformasi memungkinkan adanya pengakuan secara formal tersebut. Seperti diketahui, agar mempunyai kekuatan hukum positif, kandungan Ketetapan MPR masih harus dituangkan dalam bentuk perundangan undangan.

2, Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6.

Pasal 6 Undang Undang ini secara formal mengakui eksistensi dan hak tradisional masyarakat hukum adat berdasarkan norma yang terdapat dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut di atas.

3, Undang Undang Dasar 1945, Pasal 18 B ayat (1) dan (2).

Walaupun mungkin kelihatan nya agak Anek jika ditinjau dari segi Stufenbau theorie Des Rechts, namun Pasal 18 B ayat 1 dan 2 UUD 45 ini menindaklanjuti asas asas dan dasar dasar pengakuan terhadap eksistensi dan hak tradisional masyarakat hukum adat yang terdapat dalam Ketetapan MPR dan Undang Undang tersebut di atas.

4, Tiga agenda rancangan Undang Undang tentang Masyarakat Hukum Adat pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di Badan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Dalam masa bakti 2004-2009), sampai saat ini belum ada tindak lanjut terhadap tiga agenda tersebut. Padahal Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono sudah memerintahkan kementrian terkait pada saat pidato sambutan dalam memperingati hari masyarakat hukum adat sebagai dunia di Taman Mini Indonesia Indah tanggal 9 Agustus 2006 (lihat berita liputan harian nasional Media Indonesia, 10 Agustus 2006, berjudul RUU Masyarakat Adat Disusun, dan harian Republika, 10 Agustus 2006 berjudul Presiden; Segera Susun RUU Hukum Adat).

5, Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 51 ayat (1) huruf b.

Walaupun tidak secara khusus menyatakan perlindungan, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, namun tercantumnya masyarakat hukum adat sebagai fihak yang dapat mengajukan permohonan uji materi terhadap suatu undang-undang yang dipandang melanggar hak konstitusional masyarakat hukum adat, memberikan posisi tawar yang kuat terhadap masyarakat hukum adat berhadapan dengan kekuasaan negara.

Suatu persyaratan formal yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat hukum adat agar mempunyai legal standing sebagai pemohon adalah adanya legalitas masyarakat hukum adat tersebut dengan sebuah peraturan daerah (Perda). Catatan dengan kata lain, dalam proses mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi, masyarakat hukum adat yang ada secara de facto tidak dengan sendirinya berarti juga ada secara de jure. Oleh karena itu, adalah merupakan suatu urgensi untuk mengadakan inventarisasi terhadap seluruh masyarakat hukum adat yang ada dewasa ini, serta memperjuangkan adanya peraturan daerah kabupaten yang akan memberikan dasar hukum bagi masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Di Sumatera Selatan sepengetahuan penulis baru ada satu kabupaten yang sudah memiliki PERDA dimaksud yaitu Perda Kabupaten Banyuasin (Perda 9 tahun 2012, tentang Eksistensi dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Banyuasin), dimana saat itu saya menjadi Nara sumber bersama tokoh atau pengurus Pembina Adat Banyuasin . Antara lain bapak Anwar Malik, Kahar Muzakir dan Drs. Noer Muhammad).

6, Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan undangan.

Bab X pasal 53 Partisipasi masyarakat, undang undang ini berbunyi; masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penetapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.

7, Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Undang undang ini menentukan bahwa peraturan perundang-undangan mengenai desa serta masalah pertanahan dilakukan dengan peraturan daerah kabupaten. Hal ini terutama perlu untuk keperluan memperoleh legal standing untuk masyarakat hukum adat, khususnya bila suatu masyarakat hukum adat akan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji banding suatu undang-undang yang diduga melanggar hak konstitusional masyarakat hukum adat.

9, Terakhir pidato Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono pada acara peringatan hari internasional masyarakat hukum adat sedunia di TMII Jakarta tanggal 9 Agustus 2006, ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 1999, menunjuk kementrian sosial mempunyai tugas pokok dalam penanganan salah satu bagian dari masyarakat hukum adat yaitu komunis adat terpencil (KAT).

Kesimpulan dari sisi de facto masyarakat hukum adat belum bisa otomatis menjadi de jure, karena harus memenuhi persyaratan formal yang di atur oleh peraturan perundang-undangan walaupun masih parsial.

Untuk itu guna berhasil guna dan berdaya guna harus segera disahkan dengan adanya Undang Undang khusus mengenai Eksistensi dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Untuk sementara jika masyarakat hukum adat ingin menjadi pemohon uji materi terhadap undang-undang yang diduga melanggar hak konstitusional masyarakat hukum: harus lebih dahulu disiapkan Peraturan Daerah Kabupaten kota. Agar diakui menjadi LEGAL STANDING.***

*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan