Breaking News

Dinamika Pengakuan Konstitusional Negara Terhadap Eksistensi dan Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat


Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Di awal kemerdekaan Indonesia, kita masih disibukkan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sehingga eksistensi dan perlindungan atas hak hak dasar masyarakat hukum adat belum banyak dibicarakan.

Namun perlindungan terhadap eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini merosot tajam sejak tahun 1960, seiring dengan meningkatnya kepentingan negara terhadap sumber daya alam, yang bagaimana juga berada dalam wilayah Ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar pulau Jawa. Dengan berbagai peraturan perundang-undangan, Negara mengembangkan berbagai kebijakan, yang intinya adalah mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak hak tradisional serta hak sebagai masyarakat hukum adat yang ada, nota bene tanpa memberikan ganti rugi sama sekali, walaupun ada sangat kecil dan merugikan masyarakat hukum adat (namanya saja ganti rugi). Secara resropektif dapat dikatakan bahwa sengaja atau tidak sengaja, seluruh kebijakan negara yang mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (Dalam pasal 1 angka 6 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia terdapat penjelasan bahwa; pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Secara hukum perlu kita catat sikap ambivalen yang dianut oleh Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Pokok Pokok Agraria terhadap hukum adat dan masyarakat hukum adat. 

Pada suatu sisi, undang undang ini secara tegas mengatakan bahwa hukum adat merupakan sumber hukum agraria kita. Namun pada sisi lain, eksistensi masyarakat hukum adat -- yang merupakan konteks sosial Cultural lahirnya hukum adat tersebut - dibebani dengan beberapa kondisionalitas, yang cepat atau lambat membuka peluang untuk dinafikan nya masyarakat hukum adat tersebut.

Sudah barang tentu, masyarakat hukum adat tidak berdiam diri terhadap pengurangan, pengambilalihan, atau pencabulan hak hak tradisional nya itu. Di seluruh Nusantara telah terjadi kritik, protes, bahkan perlawanan terbuka, dari warga masyarakat hukum adat, yang pada umumnya gagal untuk mempertahankan eksistensi dan hak hak tradisional nya itu. Seperti dapat diduga, mereka tidak berada pada posisi yang dapat membela diri, karena tidak mempunyai akses pada kekuasaan, baik pada cabang legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif..

Sebagai suatu pengecualian patut disebut di sini adalah bahwa kegigihan yang mengagumkan, masyarakat Baduy di kabupaten Lebak, Propinsi Banten sekarang, yang berhasil memperoleh perlindungan hukum terhadap kebudayaan dan terhadap tanah Ulayat nya yang dituangkan dalam dua buah peraturan daerah kabupaten Lebak.

(Catatan untuk Sumatera Selatan, penulis selaku ketua Pembina Adat Sumatera Selatan sekaligus sebagai Anggota Dewan Pakar Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat (Seknas MHA sejak 2007 yang diketuai oleh bapak Dr. Saafroedin Bahar).

Sering menyampaikan secara lisan ataupun secara tertulis melalui artikel artikel di media baik cetak ataupun online) , sudah berkali kali . Baik dengan lembaga eksekutif maupun legislatif.

Namun sampai sekarang baru ada satu kabupaten yang telah memiliki Peraturan Daerah tentang Eksistensi dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yaitu Kabupaten Banyuasin dengan Perda nomor 9 tahun 2012.

Keadaan secara sistematis meminggirkan eksistensi masyarakat hukum adat serta menegasikan hak hak seperti itu secara umum berlangsung terus sejak tahun 1960 sampai tahun 1998, sewaktu secara bertahap dalam era reformasi telah diletakkan kembali landasan hukumnya untuk pengakuan formal terhadap eksistensi dan hak hak tradisional masyarakat hukum adat ini, yang sudah barang tentu memerlukan waktu untuk benar benar terlaksana dalam kenyataan nya.

Ada suatu kemajuan yang perlu kita catat secara khusus sebelum era reformasi yaitu dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993 dengan keputusan presiden nomor 50 tahun 1993. Banyak pihak menduga bahwa pembentukan komisi ini lebih merupakan hasil tekanan internasional terhadap Indonesia pasca terjadinya Peristiwa Dilli 1991, dan bukannya merupakan hasil dari kebijakan dan strategi nasional sendiri (Lihat Saafroedin Bahar, 2008, 2011).***

*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan