Pandangan Hidup Menurut Adat
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Berbeda dengan pandangan hidup yang dianut oleh Hukum Barat, maka Hukum adat atau Adat melihat bahwa manusia itu adalah sebagai spesies, dia merupakan makhluk yang selalu hidup berkumpul sebagai kodratnya. Hal itu tidak ada dalam pandangan adat, seseorang dilihat sebagai mahluk yang individual. Cerita yang seperti itu dikenal dalam lingkungan teori Hukum Barat, seperti Robinson yang sendirian dan kemudian datang Jumat, sebagai orang kedua sehingga timbul kebutuhan mengatur hubungan antara mereka tidak dapat dijumpai dalam pandangan adat, juga teori Hendry Maine bahwa hukum itu berkembang dari status ke kontrak tidak dikenal dalam pandangan adat.
Sebagai spesies, orang itu adanya, eksistensi nya tidak lepas dari kelompok di mana ia bersama sama menyelenggarakan kehidupan. pandangan seperti ini kita ringkas menjadi pandangan kebersamaan sebagai lawan dari pandangan individual.
Pandangan kebersamaan ini dalam upaya rakyat Jawa disebut sebagai "Urip berbarengan", dari pandangan seperti ini yaitu menurut kodratnya memang hidup bersama, tidak dapat lepas satu dengan yang lainnya, maka timbullah suatu konsekuensi untuk mempertahankan eksistensi hidup bersama itu secara bersama sama, tidak terkecuali.
Pandangan bahwa orang itu menurut kodratnya, adalah satu kesatuan dan kebersamaan, maka persoalan yang dihadapi adalah tentang bagaimana hidup secara bersama itu dapat dijalankan.
Jawaban yang diberikan terhadap persoalan ini ialah bahwa hidup bersama itu mungkin tetap lestari, berhubungan orang orang dalam menjalani hidup bersama itu melihat semuanya sama, tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Demikian pula dalam kebatinan, segala sesuatu dipikul bersama, yaitu sesuka seduka. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, dan demikian seterusnya. Dengan begitu konsekuensi pandangan kebersamaan itu ialah pandangan kesamaan, baik dalam arti sosialnya maupun dalam arti kebatinannya. Konsekuensi pandangan kebersamaan itu, dapat kita lihat sebagai timbul nya prinsip dalam kebersamaan, yaitu prinsip kesamaan antara satu dengan lainnya, baik dalam arti lahiriah maupun dalam arti batiniah.
Prinsip kebersamaan ini, dalam bahasa sehari-hari disebut prinsip KERAKYATAN, atau dalam bahasa Jawa disebut juga "pada pada" yang dapat kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi prinsip KESAMAAN.
Dalam kita bernegara ini, selalu terdengar dua hal, yang satu sama lain akan sulit dipahami bagi orang luar, yaitu kata kata "kesatuan dan sekaligus persatuan".
Dalam prinsip kesamaan itu, persoalan yang timbul ialah bagaimana antara semua yang sama itu dapat bertahan menjadi suatu keutuhan?. Dapat melaksanakan hidup bersama secara benar benar sebagai suatu kesatuan?. Pertanyaan tersebut dijawab dengan prinsip bahwa hidup bersama dengan melihat semua itu, dapat dipertahankan dengan berpedoman kepada prinsip RUKUN, yaitu suatu prinsip yang lebih merupakan suatu ajaran tentang hidup bersama. Sebagaimana dalam masyarakat Indonesia Rukun ini ditegaskan sebagai kunci dari kesentosaan masyarakat.
Bagaimana orang bisa hidup rukun? Dalam adat ditegaskan bahwa hubungan semua warga dalam kelompok itu, satu sama lain adalah saling mengabdi, saling menjaga, saling mencintai dan saling menghormati. Ringkasnya satu adalah hamba dari yang lain bukan seperti dalam pandangan hukum barat (homo homini lupus), artinya satu adalah serigala bagi yang lain sehingga suasananya adalah suasana konflik yang digambarkan dalam hukum barat, yaitu sebagai mana diucapkan Hobbes, "omnium belum Contra Omnes"***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan