Memaknai Jatidiri Melayu Sebagai Suatu Identitas
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Definisi MELAYU, sejak pengislaman nya di abad ke XV Masehi, banyak dikemukakan oleh penguasa kolonial Belanda dan Inggris serta sarjana asing lainnya sebagai berikut.
Seorang disebut MELAYU , apabila ia beragama Islam (sebagai catatan pinggir menjadi pertanyaan kita anehnya di dalam suatu karya ilmiah termasuk Disertasi ada yang menyebut istilah Melayu Non Islam "????.
Selain beragama Islam , mereka Berbahasa Melayu sehari hari dan Beradat istiadat Melayu.
Adapun Adat Melayu itu "Adat bersendi Syara', Syara' bersendi Kitabullah.
Orang Melayu itu adalah etnis kultural dan bukan semata mata harus seketurunan (genealogis).
Di mana dalam hukum kekeluargaan nya orang Melayu menganut sistem Parental (kedudukan pihak ibu dan pihak ayah sama).
Pada awalnya, ketika agama Islam mulai dikembangkan oleh orang Melayu (pedagang) ke seantero Nusantara, pengertian Melayu, merupakan pengertian suatu wadah orang Islam, dalam berinteraksi dengan non Islam.
Oleh sebab itu, sampai pada awal kemerdekaan Indonesia istilah Masuk Melayu sama dengan Masuk Islam.
Sistem kerajaan kerajaan Melayu seperti di Sumatera Timur, tumbuh kerajaan HARU di Deli, dan dikalahkan karena serangan Aceh pada tahun 1539 M, bercorak kerajaan Islam dengan bermazhab Syafi'i. Yang dalam pemerintahan nya dipegang oleh raja raja yang dianggap wakil Tuhan di dunia.
Salah satu cerita dalam Sejarah Melayu telah terjadi kontrak sosial antara Sang Sapurba dengan Demang Lebar Daun di Bukit Siguntang.
(Ingat dalam teori ilmu negara kuno disebut phase Kedaulatan Tuhan dan Kontrak Sosial).
Di dalam kontrak sosial ini Raja (penguasa) tidak boleh menghina dan memperkosa hak rakyat. Raja tidak akan membuat keputusan tanpa mufakat dan persetujuan segenap pembesar dalam pemerintahan.
Sebagai contoh di Siak maupun di Deli, disebut " Datuk Berempat, di Serdang disebut Wazir Empat dan sebagainya.
Oleh karena itu Raja mempunyai Daulat selaku penguasa pemerintahan, penguasa Islam di kerajaan nya dan selaku kepala adat Melayu.
Jika Raja menyimpang dari isi kontrak sosial maka Raja bisa dilawan oleh warganya. Seperti yang ditulis oleh sarjana Barat: untuk melenyapkan Ketidakadilan, rakyat menggunakan tiga cara;
Pertama, memprotes sesuai pepatah: Raja Adil Raja Disembah, Raja Zalim Raja Disanggah. Pepatah ini memperlihatkan bahwa hak asasi manusia sudah lama dipraktekkan pada suku Melayu dibandingkan dengan suku suku lainnya di Nusantara, yang tertuang dalam pepatah adat itu.
Kedua, dengan yang sering kita baca dan dengar dengan Meracuni Raja itu hingga tewas.
Ketiga, rakyat yang merasa tertekan, lalu berangkat pindah dengan keluarganya ke kerajaan lain sehingga daulat Raja itu jadi berkurang.
Di dalam hikayat hikayat Melayu sering hal ini dilukiskan dengan Negeri itu menjadi lengang ibarat disambar Garuda..... Dengan banyaknya rakyat keluar, maka raja zalim itu hilanglah pamor (daulat nya) dan turun lah derajat kerajaan nya, menjadi miskin.
Oleh karena itu Raja (penguasa) tunduk pada norma norma seperti pepatah dan ungkapan adat antara lain;
Raja berkata kata yang melimpahkan
"Bapak dari Raja ialah Syariah, ibu dari Raja ialah segala menteri dan anak anak dari Raja ialah rakyat dan balatentara (lihat Undang Undang Riau, 1847 dan Hukum Kanun Melaka)" Raja memegang adat yang Kanun, adat pusaka turun temurun, adil, Arif, bijak bersusun, pandai meneliti zaman beralun.***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan