Melayu Sebagai Identitas Kolektif
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Tanpa disadari, menjadikan Melayu sebagai identitas kolektif atau milik bersama telah dan sedang berlaku di tengah masyarakat, diantaranya.
A. Bagi keturunan Bugis yang sudah lama bermastautin di kawasan Tanah Melayu seperti Kepulauan Riau, Riau, Malaysia dan Singapura, sudah mengaku dirinya Melayu, bahkan bangga menjadi orang Melayu, apalagi cicit-buyut bangsawan Bugis yang moyang nya turut malang melintang dalam pentadbiran kerajaan Melayu di masa lampau: sudah sangat sangat Melayu. Demikian juga orang Banjar yang sudah lama bermukim di Tembilahan, Riau , juga mengidentikkan dirinya sebagai orang Melayu.
B. Di Malaysia, orang Cina dan India serta bangsa lainnya yang sudah memeluk agama Islam diakui dan digolongkan sebagai orang Melayu. Sementara orang Bugis, Jawa, Bawean dan beragam entitas etnis lainnya yang berasal dari Indonesia dan beragama Islam serta sudah menjadi warga negara Malaysia juga digolongkan sebagai orang Melayu.
C. Beraneka ragam suku termasuk keturunan Cina yang bermukim di kepulauan Riau dan Riau serta Malaysia, bahkan mungkin juga ditempat lain, dengan sukarela menyelenggarakan kebudayaan Melayu dengan ikut serta dalam berbagai tradisi melayu.
Misalnya:
Turut mengenakan pakaian Melayu pada hari dan peristiwa tertentu mengikuti anjuran dan kebijaksanaan pemerintah setempat.
Sebagai contoh, beberapa tahun terakhir di Riau dan Kepulauan Riau, Ara pelajar, para pegawai instansi pemerintah, bahkan swasta, dianjurkan, bahkan diharuskan, berbusana Melayu pada hari dan peristiwa tertentu.
Berperan aktif dalam peristiwa kebudayaan Melayu. Mulai pertengahan tahun 1990 sampai sekarang Riau dan Kepulauan Riau amat gencar menyelenggarakan peristiwa kebudayaan dan gerakan kemelayuan.
D. Menggunakan bahasa Melayu dalam pergaulan sehari-hari.
Sebagai misalnya, lintas etnis.
E. Terlihat dalam menyusun kebijakan pemerintah berkenan memajukan kebudayaan Melayu.
Hal yang demikian banyak berlaku di lingkungan pemerintahan.
F. Munculnya para tokoh lintas etnis di kawasan Melayu yang berjuang memajukan kebudayaan Melayu dan mengangkat harkat dan martabat Melayu melalui karya dan gerakan kemelayuan lainnya.
Historis nya, Melayu pernah juga menjadi identitas kolektif sebelum kita menyandang identitas keindonesiaan.
a. Orang Bugis yang merantau ke Afrika Selatan pada masa kolonial dulu yang dipimpin oleh Syeikh Muhammad Yusuf Al Mawasari, seorang ulama terpandang dari Goa atau Makasar yang dalam hidupnya banyak mengembara, mengidentikkan dirinya sebagai bangsa Melayu, sehingga ketika mereka menjadi warga negara Afrika Selatan, digolongkan sebagai ras Melayu dan Undang Undang negara tersebut.
b. Demikian juga di zaman Belanda, yang digolongkan Melayu mencakup semua suku bangsa asli Indonesia untuk menyandingkannya dengan warga keturunan Cina, India, Arab dan keturunan bangsa asing lainnya. Artinya, Melayu sebagai identitas kolektif di masa lalu sama dengan identitas kolektif sebagai orang Indonesia asli di zaman sekarang.
Sayang sekali kita propinsi Sumatera Selatan yang merasa dirinya sebagai HULU MELAYU, belum terlihat gerakan yang nyata untuk kegiatan kegiatan atau gerakan gerakan kemelayuan. Belum terlihat kebijakan pemerintah ke arah itu, misalnya berbusana Melayu untuk momen momen atau hari hari tertentu sehingga itu akan berkembang menjadi ciri khas bangsa Melayu sebagai mana yang sudah dipraktekkan oleh masyarakat Riau maupun masyarakat Kepulauan Riau khususnya dan bangsa Malaysia umumnya.
Kita masih melihat pada upacara upacara hari ulang tahun propinsi ataupun kabupaten kota; baik eksekutif maupun legislatif yang menghadiri beberapa kegiatan resmi maupun setengah resmi masih menggunakan stelan jas dan lain , bukannya busana Melayu.
Kalau hanya sekedar mengingatkan ingat saja bahwa kita bangsa Melayu pasti tidak akan melekat di hati dan perilaku kehidupan sebagai bangsa besar bangsa Melayu.
Yang anehnya kalau ada sekelompok orang atau negara mengklaim itu budaya mereka, baru kita merasa dizalimi padahal kita sendiri kurang menghargai nya, sebagai warisan budaya asli Indonesia.***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan