R.A. Kartini dalam Dimensi Cultural
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Manusia mau atau tidak sepanjang hidupnya tentu akan melakukan aktivitas dalam bingkai Cultural (budaya).
Karena dirinya merupakan komponen dari satu komunitas yang mempunyai adat istiadat.
Namun adat istiadat itu tidaklah stabil atau tetap!. Namun selalu bergerak dinamis, plastis (istilah MM. Djojodiguno SH guru besar hukum adat universitas Gadjah Mada Yogyakarta).
Kebudayaan adalah hasil Cipta, Karsa dan Rasa manusia (Prof. Koentjaraningrat Guru besar Antropologi Universitas Indonesia. Sedangkan Ki Hadjar Dewantara mengatakan dalam bukunya Kebudayaan, kebudayaan adalah hasil Budi dan Daya Manusia untuk menghadapi tantangan alam dan zaman.
R.A. Kartini adalah wanita sebagai simbol "wanita" Indonesia yang gigih ingin melepaskan ikatan kuat dari adat istiadat di saat Remaja serta dalam hidupnya berumah tangga.
Untuk kesempatan ini, penulis akan mengkajinya dari satu dimensi yaitu dimensi Cultural. Setiap bulan April tepat tanggal 21 setiap tahun bangsa Indonesia selalu mengenang sebagai hari Kartini.
Kartini dikenal juga dengan nama lengkapnya Raden Ajeng Kartini, setelah itu disebut juga menjadi Raden Ayu Kartini???.
Data kehidupan Kartini dapat kita telusuri dari surat suratnya hampir lebih kurang berjumlah 150 buah surat yang dikirimkan nya kepada teman akrab nya Ny. Abendanon.
Dari jumlah suratnya saja yang cukup besar sampai mencapai angka 150 pucuk, surat dapat dinyatakan bahwa hubungan keluarga Sosroningrat dengan keluarga Abendanon akrab, terutama antara Kartini dengan nyonya Abendanon.
Kartini dengan dua adiknya yaitu Roekmini dan Kardinah juga erat sehingga mereka menamakan diri Trio., Dua semanggi, Tiga sekawan, maka kedua adiknya pun turut pula dekat dengan nyonya Abendanon.
Hubungan mereka bertambah erat: terbukti mereka semakin mesra dengan panggilan: kekasih, bidadari, ibu dan sering mereka tutup surat dengan kalimat dengan istilah: anak kandung mu, disertai dengan ungkapan ungkapan seperti: banyak cinta kasih, cinta mesra, peluk cium hangat.
Ini dimaklumi mereka saling mencurahkan isi hati atas kondisi kehidupan mereka dalam keluarga yang kuat adat kebiasaan.
Dalam kumpulan surat itu terdapat pula pengakuan Kartini dengan terus terang bahwa dia mempunyai 2 orang ibu yang keduanya tinggal di Jepara, suatu kenyataan, dengar kalimat tersirat bahwa dia Kartini menentang adanya poligami dalam kehidupannya. Ibunya sendiri yang dipandang hanya sebagai pembantu rumah tangga yang membuat Kartini sangat pilu. Kartini melihat 2 wanita itu menanggung derita.
Masalah lainnya yang menarik perhatian pula ialah tujuan Kartini hendak pergi ke negeri Belanda demikian juga adiknya Roekmini, mereka ingin melepaskan diri sama sekali dari ikatan adat istiadat yang berurat berakar, yang erat erat mengekang mereka. Untuk itu perlu menurut mereka untuk pergi ke negeri orang lain yang memiliki adat istiadat yang berbeda sama sekali.
Namun akhirnya semua itu tidak tercapai karena tidak didukung malah dilarang oleh keluarga besarnya. Demikian juga dengan beberapa pertimbangan politik mereka dilarang untuk ke negeri Belanda.
Dalam situasi pernikahan Kartini dengan Bupati Rembang yang diberitakan telah mempunyai anak 6 orang. Juga pelamar datang dari lelaki lain yang ingin mempersunting Kartini sebagai isterinya umumnya sudah beranak 3 orang anak serta kedudukan orang tua sangat menentukan pasangan dari Tiga sekawan tersebut (Kartini, Roekmini dan Kardinah), BERONTAK, akhirnya Kardinah menyerahkan juga karena cintanya kepada Ayahnya, yang harus dihindari dari segala emosi kalau tidak jatuh sakit.
Kartini merupakan simbol kehidupan saat itu bahwa Kungkungan adat istiadat masih kuat sekali, sehingga berdampak negatif terhadap mereka mereka (perempuan perempuan) saat itu.
Akhirnya dengan syarat tertentu sesuai dengan cita cita nya akan kemajuan bangsanya dalam bidang pendidikan Kartini tunduk pada keinginan ayah nya. Sehubungan dengan itu ayahnya menulis surat dengan Nyonya Abendanon bahwa dia memang tidak keberatan anak anak perempuan nya yang tua melanjutkan sekolah, tetapi kalau ada pasangan yang cocok bagi mereka, dia LEBIH SUKA anak anak anak nya KAWIN. Pada hari hari putus harapan, penderitaan jiwa dan pergaulan itu, Kartini mengeluh tidak tahan memikirkan beban batin.
Menurut paham modern prinsip tidak mengenal kompromi, tetapi dalam latar belakang culture atau budaya zaman Kartini, bakti dan kepatuhan kepada orang tua mengatasi segala galanya. Tabiat penyerahan diri ini salah satu tabiat khas Kartini, juga yang menurut pengakuannya sejak kecil akrab dengan penderitaan ialah orang harus mencari semua bagian yang terang: apabila tidak ada, maka yang gelap itu agak digosok; itulah seninya agar hidup dengan gembira.
Maka setelah perkawinan yang sangat sederhana dan di sana sini menyimpang dari upacara tradisional dilangsungkan dan Kartini pindah ke Rembang, dia berdamai dengan nasibnya dan berusaha sekuat tenaga mencari titik titik terang dan menggosok gosok yang gelap, antara lain bahwa menurut status sosial nya sekarang, dia bukan lagi RADEN AJENG, melainkan RADEN AYU, yang dapat bergerak lebih bebas menurut pendapat masyarakat waktu itu. Dia mulai mendidik anak anaknya dan anak anak keluarga suaminya serta anak anak pegawai Bumiputera lainnya karena pada orang tua anak anak telah mulai tumbuh minatnya untuk memberikan pendidikan yang layak kepada anaknya, terbukti dari banyaknya dari mereka untuk menyerahkan anaknya kepada Kartini, meskipun hanya sebagai pembantu rumah tangga, asal mendapatkan kesempatan untuk belajar saja.***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatanan kesempatan untuk belajar saja..