Breaking News

Aneka Bentuk Kekecewaan Proses Pilpres 2024

Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Aneka bentuk kekecewaan warga negara yang cinta Demokrasi (Pancasila), tentu tidak semua dapat kita cover secara lengkap. baik isi maupun jumlahnya yang pasti.

Namun kita kelompokkan saja, yang menurut analisis penulis bentuk kekecewaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu aneka bentuk kekecewaan dalam phase proses sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang kita ketahui sudah selesai proses sidang nya di Mahkamah Konstitusi, yaitu finis tanggal 22 April 24. Secara historis berdekatan dengan hari peringatan Raden Ajeng (Raden Ayu) Kartini tanggal 21 April 24. Yang terkenal melahirkan slogan di masyarakat HABIS GELAP TERBITLAH TERANG.

Kelompok kedua adalah aneka bentuk kekecewaan warga negara pasca putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Ambil saja contoh bentuk aneka kekecewaan warga negara Indonesia sebelum proses putusan MK.

Sebelumnya kita menyaksikan sendiri apa yang terjadi di media sosial baik cetak maupun elektronik yaitu adanya pernyataan sikap atau apapun namanya dari ratusan guru besar yang menyuarakan isi hati mereka ( wakil intelektual) dari banyak Perguruan Tinggi negeri ataupun swasta yang ternama di Indonesia ( UGM, UI, UNPAD, UII dan lain nya) , yang intinya semuanya guru besar tersebut melihat adanya proses yang tidak seharusnya terjadi di negara yang berasaskan Demokrasi Pancasila, Menurut sejarah kejadian seperti ini belum pernah terjadi selama Indonesia melaksanakan pemilihan umum.

Menjelang putusan MK, beberapa tokoh masyarakat, ormas dan LSM menyampaikan pernyataan yang dikenal " Sahabat Pengadilan, inipun baru sekali terjadi selama Indonesia merdeka khusus saat pilpres.

Kita sebut saja misalnya tokoh dimaksud yaitu antara lain; Prof. Dr. Din Syamsuddin, Imam Besar Habib Rizieq dan mantan presiden ibu Megawati Soekarnoputri.

Yang intinya mereka mewakili perasaan hari nurani rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengharapkan majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; memutuskan PHPU Pilpres 24 secara adil, jujur dan independen tanpa pengaruh intervensi dari pihak manapun.

Para tokoh di atas mereka mereka mengharapkan proses jalan demokrasi di Indonesia (demokrasi Pancasila) berjalan pada rel sebagai mana mestinya yang dibangun oleh founding father, yang tertulis di dalam Pembukaan UUD 45. Yang dikenal sebagai Rechtside (cita hukum istilah Prof. Dr. Koesnoe, SH).

Setelah putusan MK tanggal 22 April 24 tentang PHPU Pilpres 24, di mana hasil akhirnya sudah kita ketahui bersama.

Namun ada catatan yang istimewa dari akhir putusan tersebut dan merupakan tonggak sejarah yang akan tercatat di dalam ingatan dan terdokumentasi di dalam lembaran lembaran perjuangan demokrasi adalah adanya " perbedaan pendapat" dari tiga hakim , yang menjadi anggota sidang pleno hakim mahkamah konstitusi yaitu, Prof. Dr. Saidi Isra SH (wakil ketua MK RI- Guru Besar Universitas Andalas Padang), Prof. Dr. Arif Hidayat, SH (hakim senior yang sudah 3 kali ikut proses penyelesaian PHPU Pilpres di MK- Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang, dan satu satunya seorang wanita (Kartini), dan juga seorang Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof. Dr. Emmi Nurbaningsih, SH (juga juru bicara MK). Menyampaikan pendapat yang berbeda dengan lima Hakim lainnya sehingga terjadi perimbangan suara lima berbanding tiga- 5 : 3. 

Setelah putusan MK dibacakan, masih menyisakan aneka bentuk kekecewaan yang disampaikan oleh orang orang peduli akan demokrasi di Indonesia, baik dari kalangan intelektual maupun dari warga negara biasa.

Seorang guru besar , "mungkin" sambil berseloroh mengatakan "Tutup Saja Fakultas Hukum" !. Entah apa maknanya tentu beliau yang persis tahu.

Ada juga anekdot lucu tapi ada juga logika nya, karena berdekatan dengan hari peringatan 21 April, hari Kartini. Lahir lah istilah HABIS TERANG DATANG LAH GELAP.

Seperti slogan itu mencerminkan masyarakat (hukum) adat dengan istilah " alam terkembang menjadi guru.

Terlepas dari cerita kita di atas dapat disimpulkan bahwa. Lapisan masyarakat ingin mengharapkan berjalan nya KEADILAN bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Mereka intinya bukan ingin memperjuangkan pasangan calon (Fulan bin Fulan). Tapi warga memperjuangkan rasa keadilan jangan dirusak oleh kepentingan kepentingan lainnya.

Demi menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercinta berdasarkan Pancasila dan UUD NKRI tahun 1945.

Catatan sejarah. 

Menurut Prof Dr. Mahfud MD, SH., guru besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia serta mantan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik) kebetulan sebagai pasangan calon Presiden dari Ganjar Pranowo. Mengatakan: adanya "perbedaan pendapat" dalam kasus pilpres di Indonesia baru terjadi kali ini. Dan ini diperkuat oleh beberapa pakar Hukum seperti. Prof. Dr. Denny Indrayana SH dan lain sebagainya.***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan