Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar belakang yang berbeda, secara umum adalah berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan yang otoriter menuju demokrasi (Jimly Asshiddiqie dalam Ni'matul Huda).
Seperti negara Indonesia Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia lahir setelah peristiwa 1998, di mana terjadi peralihan kekuasaan dari rezim orde baru ke orde Reformasi.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan akses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke- 20.
Di negara negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi (seperti kita saat itu): ide pembentukan MK menjadi diskursus penting.
Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah kepada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Secara hukum lahir MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia akibat adanya perubahan UUD NKRI tahun 1945.
Dalam perkembangan nya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberi perlindungan terhadap hak hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau Highest Norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Kontruksi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat kepada negara, melalui kontruksi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian kepada negara. Oleh karena itu konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab semua penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran kedaulatan rakyat.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong kondisi faktual yang terjadi pada saat itu;
Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara yang berdasarkan hukum;
Kedua, pasca perubahan kedua dan ketiga UUD 45 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga, kasus pemakzulan presiden Abdurrahman Wahid oleh sidang istimewa MPR pada tahun 2001, mengilhami pemikiran mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/ wakil presiden agar tidak semata mata didasarkan alasan politis saja.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung yang dibentuk melalui perubahan ketiga UUD 45.
Lahir nya Mahkamah Konstitusi melalui sidang MPR RI tanggal 9 November 2001.
Hal ini ditandai dengan perubahan Pasal 24 ayat 2 UUD NKRI tahun 1945.
"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dengan kehadiran pasal tersebut secara de jure Mahkamah Konstitusi belum terbentuk kelembagaan nya ataupun Undang Undang yang mengatur nya.
Baru setelah adanya UU nomor 24 tahun 2003 secara tertib perundangan undangan MK lahir.
Mahkamah konstitusi seperti dikontribusikan dalam UUD NKRI tahun 1945, mempunyai 4 kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 C dan Pasal 7 B.
Keempat kewenangan itu adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusan final untuk;
A. Menguji UU terhadap UUD
B. Memutuskan sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
C. Memutuskan pembubaran partai politik
D. Memutuskan sengketa hasil pemilihan umum.
Adapun kewajibannya adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan /atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianat terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela; dan / atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Seperti kondisi sekarang yang sedang berkembang dinamika politik yang sedang dihadapi oleh presiden Jokowi melalui hak angket. ***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan