Breaking News

Era Reformasi; Periode Sensitif

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Sejak kelahirannya era- reformasi, barang kali, merupakan periode yang paling sensitif terhadap eksistensi Pancasila.

Fase keterbukaan yang melampaui batas kebutuhan itu, ternyata cenderung melahirkan eforia yang tidak produktif dalam memasuki demokrasi subtansial.

Sektarian ideologis yang di masa lalu terjepit dalam mekanisme struktur kekuasaan otoritarian, kini muncul dalam semangat kesadaran baru dalam bentuk religiusitas yang ekslusif dan intoleran.

Betapapun penerapan rumusan “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekular" merupakan jalan tengah yang paling historis, eleborasi empiris dari jalan tengah ini cenderung mengabaikan perlindungan terhadap kelompok tertentu.

Dalam memecahkan masalah sengketa hak hak "kepercayaan", misalnya posisi negara cenderung bertindak sebagai aparatur - keyakinan yang melampaui batas batas kewenangannya.

Sementara dari sekalian gejala yang penting merisaukan dalam jangka panjang, khususnya dalam kaitannya relasi agama dan Pancasila adalah, semakin menyusutnya pemahaman kebutuhan ideologi nasional sebagai payung " kehendak bersama".

Pancasila secara berangsur angsur telah mengalami penyusutan peran sebagai guidence tindakan bernegara dan berbangsa.

Padahal keduanya (agama dan Pancasila) sebenarnya bisa saling mengisi dan bekerjasama dalam memperkuat moralitas bangsa, tanpa harus memperebutkan arena yang garis batasnya sengat jelas.

Pancasila tidak memiliki jangkauan untuk memberikan penjelasan kepada hal-hal yang bersifat beyond reality atau segala sesuatu yang bersifat sakral. Jadi sebagai ideologi, Pancasila bersifat profan. Sebaliknya agama memiliki keterbatasan scope untuk dijadikan landasan etika universal, yang bisa mempertemukan kehendak semua agama, yang kosmologinya memang berbeda beda.

Pancasila membutuhkan agama sebagai sponsor utama dalam mendorong lahirnya etika berbangsa dan bernegara yang didasarkan pada kesalehan sosial yang dipetik dari ajaran agama.

Sebaliknya agama membutuhkan Pancasila dalam mempertemukan nilai nilai universal yang ada dalam seluruh ajaran agamanya, seperti: keadilan, kesamaan, kemanusiaan dan sebagainya.

Simbiose mutualistik ini sebenarnya bisa terjadi, jika keduanya menyadari posisinya masing masing. Pertanyaannya mengapa Pancasila dan Agama secara semipermanent telah mengalami ketegangan.

Peringatan hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2008 yang dilakukan di Monas, yang telah dinodai oleh kekerasan kolektif yang bersumbu pada egoisme kolektif yang menumpang pada semangat keagamaan, merupakan contoh betapa rentannya pemahaman kebangsaan kita (Lihat Anas Said Mahfud, dalam Soenarto Soedarno, 2009: 168).

Rasanya belum pernah terjadi dimana polarisasi pemahaman Indonesia sebagai bangsa yang plural, telah mendapatkan tantangan yang paling merisaukan melebihi saat ini.

Semuanya ini harus menjadi pelajaran yang berarti bahwa apapun perbedaan keyakinan yang kita miliki, kekerasan bukanlah jalan keluarnya.

Tukar- gagasan dan dialog yang terus menerus dengan saling menghargai perbedaan keyakinan harus menjadi landasan utama.

Sekiranya kehendak bersama tetap tidak berhasil dirumuskan, maka semangat berbeda beda tetapi tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika), harus tetap menjadi lem perekat untuk berbangsa dan bernegara.

Keyakinan tidak dapat dipaksakan. Dakwah harus dilakukan secara persuasif dan bijaksana. Ketegangan Agama dan Pancasila hanya bisa direduksi jika para pendukungnya tidak saling memaksa kehendak serta menyadari fungsi dan limitasinya masing masing. ***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan