Breaking News

Nilai Primer dan Sekunder dalam Kaitannya dengan Hukum Adat

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Nilai merupakan "a conception of the desirable" kata Kluckhohn dalam Soedjito Sastrodihardjo (1998).

Nilai nilai ada beberapa tingkatan, yaitu nilai primer, yang merupakan pegangan hidup bagi suatu masyarakat.

Kita mengenal nilai nilai kesatria Pewayangan di dalam masyarakat Jawa, yang mengajarkan nilai-nilai primer yang merupakan prinsip hidup.

Di samping itu, ada nilai sekunder, yaitu nilai nilai yang berhubungan dengan kegunaan. Jika nilai nilai primer membicarakan hal-hal yang abstrak, seperti kejujuran, keadilan, keluhuran Budi dan sebagainya, nilai nilai sekunder membicarakan hal hal yang konkret, misalnya dasar dasar menerima suatu konsep, bahkan hukum pada umumnya lebih banyak ditujukan kepada nilai nilai sekunder, yaitu untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi secara konkret. Tentu saja hukum juga didasari dengan nilai nilai primer, tetapi dalam nilai sekunder sifatnya lebih nyata.

Kaitannya dengan studi hukum adat (hukum), jika ingin memajukan tentang studi hukum adat itu tidak berarti kita akan melupakan nilai nilai primer yang dijadikan pegangan hidup. Tanpa memiliki nilai nilai primer, masyarakat akan kehilangan pegangan hidup dan mudah dikacaukan oleh keadaan luar. Dalam pada itu, kita harus memperhatikan nilai nilai sekunder berubah. Orang menghadapi mesin, orang menghadapi listrik yang berbahaya, jika tidak memperhatikan norma norma standar dalam menghadapi mesin dan listrik akan mengundang bencana.

Kita saksikan juga pertumbuhan perusahaan perusahaan konfeksi dan perusahaan modern di tengah tengah masyarakat tradisional. Kebutuhan hukumnya sudah berbeda dengan masyarakat tradisional. Kita lihat perkembangan Koperasi Unit Desa, yang merupakan hasil dari ekonomi modern. Maka cara-cara manejemen tradisional tidak dapat diterapkan pada koperasi koperasi.

Sering kita amati sebuah koperasi yang menerapkan tanggung jawab renteng dari para debitur. Biasanya bahwa dalam hidup sehari-hari, tanggung jawab renteng ini diterapkan pada sopir sopir, buruh buruh dan penarik becak, seseorang harus bertanggung jawab atas teman teman nya. Dalam koperasi ini para debitur dikumpulkan dalam kelompok kelompok, tempat para anggota kelompok harus saling menanggung jika kredit nya tidak dapat kembali. Ternyata, sistem ini hanya dapat diterapkan sampai jumlah modal tertentu. Setelah melampaui batas ini, koperasi mengalami kebangkrutan.

Demikian pula di kalangan orang orang yang mempelajari koperasi, terdapat semacam dalil bahwa Koperasi Unit Desa yang dikelola secara tradisional, yaitu tidak ada pemisahan yang tegas antara milik dan dasarnya ingatan hanya dapat menyerap maksimal modal dibilang kecil.

Kebiasaan kebiasaan dalam Koperasi Unit Desa perlu diteliti secara mendalam dan ini bukan hanya tugas ekonom atau sarjana sosial (sosiologi), tetapi juga tugas para sarjana hukum.

Kebiasaan kebiasaan dalam bidang perdagangan, perbankan, koperasi dan lain lain, merupakan suatu objek yang mungkin dapat dipelajari untuk memperluas liputan Hukum Adat dalam dunia modern yang lebih canggih (sophisticated). ***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan