Keadilan dalam Prospektif Normatif dan Empiris
![]() |
| Albar Sentosa Subari |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Negara Indonesia adalah negara
hukum (rechtsstaat) yang menganut paham atau aliran positivisme.
Aliran positivisme yang kemudian berpengaruh pada cara
berhukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Cara berhukum yang lebih mengedepankan aspek legal - formal,
didasarkan pada aturan hukum normatif (rule bound), dan berdasarkan
undang-undang tertulis.
Karena berhukum dengan hukum positif negara lebih
mengedepankan aspek kepastian hukum dari pada keadilan hukum bagi masyarakat.
Menurut Trubek (1972) sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo
(2010), sudah menjadi trademark hukum modern, bahwa hukum adalah konstitusi
yang tertulis dan dibuat oleh manusia (purpose human action).
Lebih penting lagi hukum modern diidentikkan dengan hukum
negara.
Hukum negara adalah hukum positif yang dibuat dan
dioperasikan oleh instansi instansi formal negara.
Rosce Pound (sosiologi hukum Amerika) yang dikutip oleh
Johnson, 2006, mengatakan kebenaran dan keadilan bagi penganut legisme atau
positivisme hukum (quid juri) adalah yang berdada pada undang-undang.
Kebenaran yang didukung oleh kekuasaan, atau segala
pengesahan yang dibawa oleh masyarakat politik, yakni negara.
Negara kita lebih berkiblat pada hukum Belanda yang
menggunakan Civil law system', maka praktis hukum kita sangat cenderung kepada
hukum perundangan undangan, hukum tertulis, hukum yang dibuat dengan sengaja
oleh badan legislatif.
Sistem perundangan undangan sebagai hasil dari sistematisasi
produk produk kesepakatan badan legislatif dalam bentuk yang tertulis (Wignjodipoero,
2008).
Hukum adalah undang-undang nyaris diterima secara mutlak (Rahardjo,
2010).
Konsep dan paradigma inilah yang dipraktekkan dalam
kehidupan negara modern Indonesia, terutama oleh aparat penegak hukum kita;
Berhukum berdasarkan pasal pasal sehingga aparat penegak
hukum cenderung menjadi corong nya undang undang, hukum ibarat " kaca mata
kuda", tidak mempertimbangkan aspek sosiologis yang ada.
Ketidaksempurnaan positivisme hukum terletak pada penafsiran
hukum yang monolitik, bahwa teks undang undang hanya member tentang penafsiran
yang sangat terbatas, tidak elastis.
Karena itu, pemahaman dan penafsiran hukum tidak hanya
sekedar yuridis normatif, akan tetapi juga perlu dikembangkan pemahaman dan
penafsiran hukum empiris.
Hukum tidak hanya tertulis, dalam masyarakat pun berlaku dan
berkembang hukum sosiologis, yang juga bisa dijadikan sebagai instrumen dalam
menyelesaikan konflik sosial dalam masyarakat.
Satjipto Rahardjo mengatakan (2010), hukum positif atau
hukum modern telah " merobohkan pengadilan", sebagai tempat di mana
keadilan diberikan, dengan cara menjadikan pengadilan sebagai rumah untuk
menerapkan undang-undang dan prosedur.
Sementara itu Bernard Arif Sidarta (2000) mengatakan ketidaksempurnaan
positivisme adalah mengasumsikan peragaan penafsiran monolitik oleh para
fungsionaris hukum pada era yang sudah modern.
Penafsiran monolitik bermakna bahwa teks undang undang hanya
memberikan rentan ruang penafsiran sangat terbatas, bahkan cenderung tertutup (
exclusive).
Simpulan: hukum tidak cukup difahami secara legalistik, yang
ada dalam pasal pasal yang kaku.
Hukum dalam tafsiran empiris berarti menginstruksikan fakta
fakta sosiologis ke dalam hukum untuk kemudian dijadikan dasar (tidak tertulis)
dalam penegakan hukum terutama KEADILAN.
Ketua Pembina Adat Sumsel Albar Sentosa Subari: Sesuai
dengan cita hukum Pancasila yang tertulis di dalam pembukaan UUD NKRI tahun
1945, sebagai RECHTSIDE bangsa dan negara Indonesia.***
*) Penulis merupakan Ketua Pembina Adat Sumsel

