Breaking News

Mencari Titik Temu Hukum Tertulis dan Hukum Adat


   Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Ketua Lembaga Adat Peduli Marga Batang Hari Sembilan)

Jendelakita.my.id – Baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis merupakan bagian dari hukum positif. Hukum positif tertulis merujuk pada peraturan perundang-undangan, sedangkan hukum positif tidak tertulis disebut juga hukum adat atau hukum kebiasaan, dan dalam KUHP Nasional dikenal sebagai "Hukum yang hidup dalam masyarakat". Dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, hal tersebut disebut sebagai "nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat". Hukum yang hidup dalam masyarakat sering kali berhadapan dengan hukum positif tertulis, sehingga keduanya tidak jarang mengalami pertentangan.

Hukum positif tertulis yang dihasilkan oleh lembaga legislatif, eksekutif, maupun putusan pengadilan kerap bertolak belakang satu sama lain sehingga memunculkan reaksi dari berbagai pihak. Salah satu contohnya terjadi pada tanggal 25 November di sebuah daerah yang dikenal memiliki masyarakat yang masih kuat mempertahankan adat istiadat di Sumatera Selatan, yaitu Semende Pulau Panggung, Kabupaten Muara Enim. Di daerah tersebut dikenal istilah "harta warisan Tunggu Tubang". Namun, pada tanggal tersebut terjadi eksekusi terhadap rumah warisan Tunggu Tubang oleh Pengadilan Negeri Muara Enim.

Pada saat yang sama, dalam bulan November ini, komunitas yang menamakan dirinya sebagai pemangku dan pembina adat ek marga di wilayah Semende melakukan reaksi adat dengan membuat pernyataan penolakan atas eksekusi tersebut. Pernyataan tersebut dibacakan oleh para tokoh adat dan tokoh masyarakat. Terhadap para pelaku—penjual, pembeli, serta pihak-pihak yang terkait—ditetapkan SANKSI ADAT, yaitu: (1) dikeluarkan dari wilayah dan masyarakat adat Semende, dan (2) dikenakan denda berupa beberapa ekor kerbau serta beras 100 kg.

Dari kasus ini dapat diambil pemahaman bahwa dalam praktiknya sering muncul pertentangan antara hukum positif tertulis dan hukum positif tidak tertulis. Pertentangan tersebut dapat terjadi akibat kurangnya pemahaman para penegak hukum terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, bergesernya sifat komunitas dari kolektivisme menuju individualisme, serta sifat hukum adat yang senantiasa berkembang atau dinamis. Hal ini mengingatkan pada sebuah karya Prof. Hamka berjudul Adat Minangkabau Mengalami Revolusi.