Breaking News

Nikah Massal, Janji Lama Akhirnya Sah


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan) 

Jendelakita.my.id. -  Judul artikel di atas merupakan mata acara berita Kompas TV (Kompas Sumsel, 4 Oktober 2025) yang berjudul “Nikah Massal, Akhirnya Sah.” Fenomena-fenomena di masyarakat kadang menarik dan dapat menimbulkan inspirasi untuk dianalisis secara normatif dan empiris. Pertanyaannya, mengapa fenomena-fenomena dimaksud masih terjadi secara faktual, padahal secara hukum sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan? Di sinilah pentingnya memahami proses penegakan hukum.

Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H. dalam disertasinya mengenai masalah penegakan hukum mengatakan bahwa banyak faktor yang memengaruhi proses penegakan hukum tersebut, antara lain faktor budaya dan sosial. Suatu norma perundang-undangan dalam aplikasinya memang dipengaruhi oleh faktor sosial. Contohnya dalam kasus ini, proses pernikahan bagi penduduk Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) beserta perangkat hukum lainnya.

Namun, hal itu belum cukup karena perkawinan itu sendiri, sebagaimana disinyalir oleh Prof. Iman Sudiyat, S.H., setidaknya melibatkan tiga sistem hukum yang berlaku dalam suatu peristiwa perkawinan atau pernikahan, yaitu sistem hukum agama (Islam), sistem hukum adat, dan sistem hukum negara (UU No. 1 Tahun 1974). Dalam sistem hukum agama, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, misalnya adanya mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi, mahar, serta pelaksanaan ijab kabul. Jika hal tersebut telah terpenuhi, maka perkawinan dinyatakan sah menurut agamanya. Ketentuan ini juga diadopsi oleh UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa sahnya suatu perkawinan ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing.

Dalam sistem hukum adat, perkawinan bukan sekadar urusan individu yang hendak menikah, melainkan juga urusan keluarga, masyarakat, dan leluhur. Dalam budaya Jawa, misalnya, harus terpenuhi unsur bibit, bebet, dan bobot. Sedangkan menurut sistem hukum negara, selain memenuhi unsur agama dan kepercayaan, perkawinan juga harus terdaftar pada instansi yang berwenang, seperti Kantor Urusan Agama bagi umat Islam.

Pemenuhan berbagai persyaratan di atas, terutama ketentuan bahwa perkawinan harus tercatat di Kantor Urusan Agama atau instansi terkait, menjadi dasar penting sebagaimana konteks judul berita ini. Oleh karena itu, muncul kebijakan pemerintah seperti Nikah Massal yang diprakarsai oleh Pemerintah Daerah Kota Palembang baru-baru ini dan menjadi perhatian masyarakat. Acara tersebut dilaksanakan di Hotel Swarna Dwipa beberapa waktu lalu.

Pernikahan massal ini diikuti oleh pasangan-pasangan yang sebelumnya telah melaksanakan perkawinan menurut agama dan adatnya, tetapi belum mendaftarkan perkawinannya secara resmi di instansi pemerintah. Setelah melalui proses administrasi yang telah ditentukan, barulah mereka memperoleh buku atau akta nikah.

Inilah inti dari proses pernikahan massal, yaitu untuk memperoleh syarat formal yang sah menurut hukum negara, berupa buku atau akta nikah. Dokumen tersebut memiliki nilai penting bagi para pasangan agar perkawinan mereka di masa lalu (janji lama) akhirnya disahkan secara hukum negara (ketentuan formal). Dengan demikian, masing-masing pihak memperoleh pengakuan negara atas pernikahan mereka.