Filosofis Karet Gelang dalam Fenomena Hukum Adat
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan)
Jendelakita.my.id. - Karet gelang tentu sudah sering kita lihat maupun manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ada hal menarik yang dapat menjadi inspirasi dalam perilaku masyarakat, khususnya dalam konteks hukum adat, apabila dikaji secara filosofis. Dahulu, pada tahun tujuh puluhan dan sebelumnya, bentuk lingkaran karet gelang cenderung lebih besar dibandingkan dengan karet gelang saat ini yang berukuran lebih kecil. Mungkin saja hal ini merupakan dampak dari faktor ekonomi dan bisnis yang semakin menekan biaya produksi. Akan tetapi, aspek tersebut tidak akan dibahas lebih lanjut karena bukan merupakan kompetensi keilmuan yang dimiliki.
Terdapat fenomena menarik bila dilihat dari kacamata ilmu hukum adat dan sosial budaya, terutama dalam pembahasan mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Prof. Iman Sudiyat, S.H., Guru Besar Ilmu Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang juga merupakan pembimbing tesis S2 penulis pada tahun 1983, mengatakan bahwa “permasalahan tanah adat itu sepertinya filosofis karet gelang.”
Karet gelang, jika dibiarkan dalam keadaan normal, hanya terlihat berbentuk bulat dan rata. Namun, ketika ditarik dengan kuat, gelang tersebut akan mengecil dan memanjang (dalam bahasa Jawa disebut ngulur mengkerut). Jika dikaitkan dengan kehidupan sosial, kondisi ini menggambarkan bahwa semakin majunya dunia peradaban, semakin mengecil pula nilai-nilai kebersamaan atau sifat kolektif/komunal. Hal ini sejalan dengan teori ciri-ciri masyarakat hukum adat yang dikemukakan oleh sarjana Belanda bernama Holleman.
Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, nilai kebersamaan kini bergeser menuju sifat individualistik. Saat ini, di berbagai tempat seperti terminal, kantor, atau ruang publik lainnya, kita sering menyaksikan sekelompok orang yang sibuk dengan telepon genggam masing-masing tanpa saling menyapa. Fenomena ini merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan teknologi informasi, yaitu menurunnya kepedulian terhadap lingkungan sosial di sekitar. Bahkan, ketika terjadi peristiwa seperti kebakaran, kecelakaan, atau pelanggaran hukum, banyak orang justru sibuk mendokumentasikan kejadian tersebut melalui telepon genggamnya, bukan memberikan pertolongan. Lebih parah lagi, ada pula yang memanfaatkan situasi tersebut untuk mencari keuntungan pribadi, misalnya dengan mengambil barang milik korban.
Kembali pada fokus mengenai tanah adat, dewasa ini hubungan antara tanah adat yang di dalamnya terdapat hak penguasaan komunitas dan hak pengelolaan anggota masyarakat adat telah mengalami pergeseran dalam hal kepemilikan. Slogannya, “Apabila hak komunitas masih tebal (banyak/luas), maka hak pengelolaan pribadi masih sedikit atau sempit. Sebaliknya, semakin meluasnya hak pengelolaan pribadi akan berdampak pada berkurangnya hak komunitas.”
Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di lapangan, terutama akibat pembangunan yang menyentuh kawasan hutan yang dahulu dikenal sebagai hutan adat atau hutan marga. Kini, dengan adanya kebijakan pemerintah melalui berbagai program kementerian yang umumnya bersifat individual—baik dikelola oleh badan hukum perseorangan maupun korporasi—fungsi hutan sebagai ruang komunal semakin terpinggirkan, sehingga hak-hak kolektif masyarakat adat perlahan mengalami pengikisan.