Mulia Tanpa Takabur
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.
Jendelakita.my.id. - Ketika seorang muslim telah mulia atau jiwanya mencapai kemuliaan, ia tidak akan menghinakan diri sendiri maupun orang lain. Kepribadiannya yang mulia membuatnya menghargai siapa pun yang menghormatinya dan tidak menghina orang lain. Penampilannya bersahaja, dan orang-orang pun membicarakannya tanpa nada miring. Orang tidak mengatakan bahwa ia angkuh atau sombong. Rasulullah Saw. telah mengatakan, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada keangkuhan, meski hanya sebutir biji sawi.” Seorang lelaki bertanya, “Bagaimana jika seorang pria ingin mengenakan pakaian serta sandal yang baik?” Jawab beliau, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Keangkuhan itu menolak kebenaran serta tidak menghargai manusia atau menghina mereka.” (QS. Al-Anbiya’ ayat 107).
Lantas siapa yang mulia itu? Al-Qur’an mengatakan, “Kemuliaan itu bagi Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang beriman” (QS. Al-Fath ayat 29). Allah Swt. telah mengarahkan hamba-hamba-Nya untuk mencari kemuliaan itu, disertai keterangan bahwa pencapaiannya bukan dari makhluk, kendati ia kaya dan berkuasa. Namun, kemuliaan itu datang dari Al-Khaliq Yang Maha Agung. Caranya adalah dengan iman dan amal sebagai representasi dari pengesahan kepada Allah Swt. Maka selayaknya manusia tidak meminta kecuali hanya kepada Allah, dan tidak memohon pertolongan selain kepada-Nya.
Amal saleh orang-orang beriman yang diterima Allah akan memudahkan mereka dalam menggapai keagungan. Seperti telah kita ketahui, cara menggapai kemuliaan adalah dengan iman dan amal. Jika keduanya tidak ada atau salah satunya hilang, hal itu akan membuat pemiliknya terjerumus ke dalam kerendahan dan kehinaan. Ia menjadi sosok manusia yang tidak beriman, malas bekerja, mencemaskan kehidupannya, dan tidak berani menghadapi kematian. Ia akan merintih dan menghina diri demi mencari pertolongan dari orang yang tidak bisa memberikannya. Selanjutnya, ia akan khawatir terhadap sumber rezekinya.
Untuk menggapainya, ia menempuh cara-cara yang tidak benar, menyimpang dari jalan yang semestinya, hingga akhirnya tergelincir ke dalam kenistaan. Seorang muslim tidak seperti mereka yang hidupnya hanya untuk makan dan minum. Mereka tidak berarti dalam hidup ini dan tidak bernilai dalam kehidupan sosial kemanusiaan. Sendi-sendi kemanusiaan telah runtuh karena tidak mengutamakan keseimbangan. Mereka tidak tahu diri, hikmah-hikmah Allah tidak pernah mengetuk hati mereka. Penyakit mereka berasal dari diri sendiri dan dari segala yang datang kepada mereka.
Dengan demikian, kepribadian islami dapat tumbuh dan berkembang, ikut mengambil peran dalam kehidupan, serta mengedepankan kemuliaan dan keluhuran. Nabi telah menjelaskan, “Sesungguhnya Allah itu Maha Mulia, menyukai kemuliaan, mencintai ketinggian akhlak, serta membenci kehinaannya.” Kata beliau pula, “Sesungguhnya Allah mencintai perkara-perkara yang agung lagi mulia.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

