Breaking News

Membangun Masa Depan Lewat Ketangguhan

 

Jendelakita.my.id – Banyak orang masih percaya bahwa kecerdasan intelektual (IQ) adalah penentu utama kesuksesan. Sekolah pun sering kali menilai murid berdasarkan angka di rapor, peringkat kelas, atau skor ujian. Padahal, penelitian modern menunjukkan bahwa faktor yang lebih menentukan dalam kesuksesan jangka panjang bukanlah IQ, melainkan grit—kombinasi antara ketekunan, semangat pantang menyerah, dan kemampuan bertahan menghadapi kegagalan. Ironisnya, konsep grit ini justru jarang diajarkan di sekolah, padahal ia merupakan fondasi penting dalam kehidupan nyata.

Sebagian besar sekolah masih menilai murid dari seberapa tinggi nilai matematika mereka, seberapa bagus skor ujian nasional, atau peringkat berapa di kelas. Akibatnya, yang dianggap “berprestasi” hanyalah mereka yang unggul secara akademis. Padahal, dunia nyata tidak menilai kita dari angka di rapor, melainkan dari bagaimana kita menghadapi tantangan. Fokus berlebihan pada angka membuat anak belajar untuk mengejar hasil, bukan proses. Mereka takut gagal, takut salah, dan hanya ingin terlihat pintar. Grit tidak akan tumbuh dalam lingkungan seperti ini, karena grit lahir dari keberanian untuk jatuh dan bangkit kembali. Selama sekolah tidak memberi ruang untuk itu, anak-anak akan lebih mementingkan nilai daripada mentalitas pantang menyerah.

Untuk membentuk grit, seseorang harus berani gagal. Kegagalan adalah guru terbaik yang mengajarkan cara bertahan, bangkit, dan terus mencoba. Namun, sekolah sering kali menganggap kegagalan sebagai aib. Nilai merah, tidak naik kelas, atau salah menjawab soal bisa membuat anak dicap “bodoh”. Padahal, di dunia nyata, orang sukses adalah mereka yang paling banyak gagal. Mereka mencoba, jatuh, belajar, lalu bangkit lagi. Sayangnya, kultur sekolah yang anti-kegagalan membuat anak tidak terbiasa menghadapi tekanan. Ketika masuk dunia kerja atau bisnis, mereka mudah runtuh hanya karena satu kali gagal.

IQ pada dasarnya sulit berubah. Seseorang bisa meningkatkan kemampuan kognitifnya sedikit, tetapi tidak signifikan. Sementara itu, grit adalah kualitas yang bisa dibentuk setiap hari melalui disiplin, ketekunan, dan kemampuan menunda kesenangan demi tujuan jangka panjang. Namun, karena grit tidak bisa diukur dengan angka, sekolah jarang menaruh perhatian padanya. Tidak ada mata pelajaran “grit” atau rapor tentang ketekunan. Akibatnya, guru dan orang tua lebih sibuk mengejar hal-hal yang terlihat (nilai, peringkat, piala) daripada membangun kualitas tak terlihat yang justru menentukan masa depan anak.

Di dunia kerja, perusahaan lebih menghargai orang yang konsisten, tahan tekanan, dan tidak mudah menyerah dibandingkan mereka yang hanya pintar tetapi rapuh secara mental. Dalam bisnis, investor lebih percaya pada pendiri yang gigih dan terus berjuang, daripada yang hanya memiliki ide cemerlang tanpa daya tahan. Grit adalah “mata uang” yang sebenarnya dibutuhkan di dunia nyata. Namun, ironisnya, anak-anak tidak pernah diajari cara membangunnya di sekolah. Mereka baru menyadari pentingnya grit setelah terjun ke kehidupan nyata, ketika IQ tinggi saja tidak cukup untuk bertahan.

Orang dengan grit tahu bahwa sukses bukan tentang siapa yang paling cepat, melainkan siapa yang paling tahan lama. Grit membuat seseorang tetap berlari meski perlahan, tetap mencoba meski gagal, dan tetap percaya meski diragukan. Inilah kualitas yang membedakan orang biasa dari yang luar biasa.

Sumber: FB Inspirasi Kata