Breaking News

Pasca Kembalinya Empat Pulau Milik Aceh




Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum - Kolumnis)

Jendelakita.my.id – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam lawatan kenegaraannya ke luar negeri (Singapura–Rusia) pada 17 Juni 2025, dengan sigap menyelesaikan sengketa antara Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh. Sengketa tersebut sempat memanas dan menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada umumnya, serta masyarakat Aceh pada khususnya. Situasi tersebut menimbulkan kecemasan di tengah rakyat Indonesia apabila terjadi hal-hal yang berpotensi mengguncang keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, polemik ini bermula dari terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2.2138 Tahun 2025 tanggal 25 April 2025, yang menetapkan empat pulau—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang—sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara. Keputusan tersebut memicu ketegangan dan menjadi viral di berbagai media.

Alhamdulillah, pada 17 Juni 2025, melalui Menteri Sekretaris Negara, Bapak Prasetyo Hadi, disampaikan bahwa Presiden Republik Indonesia secara resmi menetapkan keempat pulau tersebut kembali menjadi bagian dari wilayah administratif Provinsi Aceh.

Dengan dikembalikannya keempat pulau tersebut, situasi yang sebelumnya tegang kini kembali normal, terutama bagi masyarakat Aceh dan rakyat Indonesia secara umum. Kita memahami bahwa sejarah mencatat betapa sulit dan mahalnya proses untuk mendamaikan konflik antara Aceh dan Republik Indonesia, yang akhirnya berbuah pada penandatanganan Perjanjian Helsinki.

Kita juga patut mengapresiasi kebijaksanaan dan kearifan Presiden ke-6 Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, serta Wakil Presiden saat itu, Bapak Muhammad Jusuf Kalla, yang telah memberikan pencerahan dan solusi damai bagi bangsa ini. Semoga peristiwa seperti ini tidak terulang kembali, apalagi hanya disebabkan oleh kebijakan administratif yang tidak mempertimbangkan sensitivitas sejarah dan sosiopolitik masyarakat daerah.