Konteks Hubungan Kemitraan antara DPRD dengan Eksekutif Daerah
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan)
Jendelakita.my.id – Secara filosofis, DPRD dan pemerintah daerah merupakan institusi yang berasal dari, oleh, dan untuk rakyat melalui mekanisme kedaulatan rakyat, yakni pemilihan umum. DPRD bertugas menyuarakan aspirasi rakyat serta menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah daerah. Sementara itu, pemerintah daerah bertugas mewujudkan aspirasi tersebut sesuai dengan kehendak masyarakat.
Kedua institusi ini sama-sama mengemban amanat rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat (akuntabilitas politik). Oleh karena itu, keduanya berada dalam posisi “mitra sejajar”. Tidak seharusnya ada institusi penyelenggara pemerintahan di daerah yang merasa sebagai “super body” maupun yang diposisikan sebagai “inferior body”. Artinya, DPRD dan pemerintah daerah memiliki kedudukan yang setara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, dalam praktiknya, perilaku aparatur pemerintah daerah sering kali menunjukkan kecenderungan sebagai "super body", yang merupakan warisan dari struktur pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu, DPRD dipandang sebagai bagian dari pemerintah daerah. Selain itu, dominasi pemerintah daerah dalam penguasaan sumber daya ekonomi dan keunggulan sumber daya manusia turut memperkuat posisi eksekutif dibandingkan legislatif.
DPRD sebagai institusi yang anggotanya direkrut melalui proses kepartaian, kerap kali tidak dibekali dengan pengalaman teknis dan pemahaman yang memadai di bidang pemerintahan. Hal ini menyebabkan perbedaan latar belakang dan visi antara kedua institusi tersebut dalam memandang berbagai persoalan pemerintahan. Perbedaan ini kerap menjadi kendala psikologis, baik secara personal maupun impersonal, dalam menjalin hubungan kemitraan yang sejajar.
Secara yuridis, DPRD dan pemerintah daerah adalah institusi yang setara. Namun, secara faktual dalam praktiknya, kesetaraan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
-
Keunggulan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pemerintah daerah,
-
Penguasaan aset dan sumber daya ekonomi, dan
-
Pengalaman empiris yang dimiliki aparat birokrasi.
Secara historis, pemerintah daerah juga masih dibayangi oleh “post power syndrome” yang menempatkan dirinya dalam posisi serba kuasa. Selama puluhan tahun, aparat birokrasi dibentuk dalam budaya kekuasaan yang mengatur, membina, dan menentukan kebutuhan masyarakat secara sentralistik. Pola pikir tersebut masih mengakar di kalangan eksekutif, tidak hanya tercermin dalam relasi dengan DPRD, tetapi juga dalam pelayanan kepada masyarakat yang belum menunjukkan perubahan mental yang berarti.
Perubahan menuju birokrasi yang berpikir, bersikap, dan bertindak sebagai pelayan masyarakat membutuhkan proses panjang dan bertahap hingga tercapai kemapanan nilai demokrasi. Oleh karena itu, di satu sisi diperlukan kesabaran dari masyarakat, dan di sisi lain dibutuhkan terobosan-terobosan dari pimpinan eksekutif guna mempercepat terbentuknya aparat birokrasi yang berperan sebagai fasilitator dan regulator, bukan sebagai penentu atau determinator.
Pemerintah daerah harus mampu bersikap proaktif dan responsif terhadap aspirasi rakyat. Agar eksekutif benar-benar menjadi pelayan masyarakat, maka perhatian terhadap peran legislatif harus ditingkatkan. Legislatif merupakan representasi suara rakyat yang tercermin dalam fungsi agresif, artikulatif, dan formulatif terhadap kebijakan eksekutif.
Dengan demikian, kebijakan pemerintah daerah yang ditetapkan bersama DPRD akan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat. Suara DPRD, baik secara personal maupun impersonal, adalah bagian dari fungsi pengawasan untuk menyelaraskan kebijakan dengan pelaksanaannya, serta untuk mencegah terjadinya distorsi dan deviasi di lapangan.
Apabila suara DPRD tidak diindahkan oleh eksekutif dan terbukti terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan, maka DPRD akan menggunakan hak pengawasan yang bersifat represif, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf g Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.
Pengawasan represif oleh DPRD berarti tidak ada toleransi terhadap pelanggaran norma moral dan hukum oleh aparat pemerintah daerah. Fungsi pengawasan ini bersifat politis dan represif sebagai bagian dari upaya menegakkan supremasi hukum demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang demokratis, adil, dan transparan.
Sebagai catatan, kondisi hubungan kemitraan antara eksekutif dan legislatif bukanlah semata-mata opini penulis. Secara faktual, hal ini pernah diungkapkan oleh anggota DPRD di suatu kota yang menyatakan bahwa mereka merasa tidak jelas dalam menjalankan tugas dan fungsi. Mereka merasa bukan bagian dari eksekutif, namun juga tidak sepenuhnya diakui sebagai legislatif. Mungkin perasaan serupa juga dialami oleh DPRD di daerah lain.