Breaking News

Masalah Pluralitas Budaya; Menuju ke Paham Pluralisme


Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Di dalam suatu negara yang berbudaya majemuk, seperti Indonesia saat ini, setiap langkah pengembangan kultur politik selalu saja menghadapkan orang kepada keterpaksaan untuk membuat pilihan pilihan atau pemihakan pemihakan yang acap kali rumit.

Terjadinya permasalahan dilematis yang tentunya tidak jarang memusingkan. Di tangan kekuasaan para nasionalis yang lebih menekankan kesatuan dan persatuan dalam segala segi kehidupan, prinsip "bhinneka tunggal Ika" selalu dipakai untuk lebih membenarkan cita cita berketunggalan dari pada untuk lebih mendahulukan perlunya mengapresiasi, "kebhinekaan" dalam awal berbudaya dan bertradisi.

Memang sungguh benar, pada awal eksponen eksponen nasionalis hendak mencoba mengabaikan fungsi budaya budaya etnik itu, atau malah terkesan mereka ini- dengan semangat modernisasi - menghawatirkan akan terjadi nya disrupsi disrupsi apabila kesetiaan kesetiaan tradisional pada segala sesuatu yang bersifat etnik itu terlalu ditenggang dan terangkat ke permukaan, untuk kemudian mengintervensi kan sukuisme ke dalam kehidupan bernegara dan kemudian dari pada itu lalu mengganggu kehidupan nasional.

Perkembangan yang terkesan anti tradisi seperti ini ternyata tidak hanya dapat disimak pada tahap tahap awal tatkala para nasionalis mulai tergugah kesadaran nya untuk berbangsa dan bertanah air pada tingkat nya yang akan Supra dan transernik.

Sampai pun pada tahap implementasi - ialah tatkala kehidupan nasional sudah hendak disempurnakan lewat usaha usaha pembangunan - perkembangan ideologi yang anti - tradisi (dan malahan yang juga anti segala yang terkesan amat a nasional, transnasional dan global) juga tetap saja kuat tersimak.

Akan tetapi, nyatalah kemudian bahwa pementingan upaya membangun suprastruktur politik nasional dengan mengabaikan peran instruktur budaya yang ada akan memperbanyak jumlah langkah langkah perekayasaan yang cenderung semena mena dan bersifat otokratik. Modernisasi dan terwujudnya negara bangsa yang kuat, yang selama ini menjadi bagian utama dari cita cita setiap nasionalis, lalu lebih banyak berekpresi serta bermakna sebagai proses transplantasi (yang disebut modernisasi, untuk mentransfer berbagai institusi dari pengalaman bangsa bangsa lain yang berteknologi maju ke kehidupan bangsa sendiri yang dinilai kurang maju) dari pada sebagai proses transformasi (dari yang etnik - lokal ke yang fungsional untuk juga memajukan kehidupan nasional).

Proses modernisasi laky lebih terkesan sebagai proses nasionalisasi atau "negaranisasi' yang terlalu total, tanpa memberi tempat lagi bagi kekayaan kekayaan lokal yang populis untuk leluasa

Dalam kehidupan yang kian mengglobal, dengan kegiatan lintas batas yang kian berganda ganda pula (dalam ihwal demografik, keuangan dan informasi serta isu), menentukan mana yang mayoritas dan mana yang minoritas juga tak lagi mudah. Mereka yang minoritas dalam percaturan nasional sering terpaksa pula harus diperhitungkan sebagai yang mayoritas dalam percaturan transnasional dan demikian sebaliknya. Dalam situasi di mana nasionalisme sudah mulai harus berdampingan dengan kesadaran baru yang disebut globalisme- yang dalam teori maupun dalam praktek acap kali justru kurang menaruh respek pada batas batas teoritis dan atau yuridiksi nasional - tidaklah akan ada jalan lain bagi para eksponen yang nasionalis untuk membangun kultur politik nasional (demi sehatnya kehidupan bernegara) lewat proses proses yang bermula dari bawah.

*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan