Breaking News

Tantangan dan Hambatan Sekretariat Nasional MHA


 Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Selain adanya faktor pendukung kelancaran pembentukan Sekretariat Nasional yaitu dukungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berturut pada tahun 1998 dan 1999 telah ada serangkaian peraturan perundang-undangan yang mengakui serta melindungi masyarakat hukum adat dan hak tradisional nya yaitu Pasal 41 Ketetapan MPR No XVII tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 6 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia dan Pasal 18 B ayat 2 serta Pasal 28 I ayat 3 hasil amendemen kedua UUD 45. Lebih dari itu, tidak kalah penting perannya adalah telah diratifikasi dua konven pokok hak asasi manusia sejagat, yaitu Internasional Covenant on Economic, Social and Culture Rights ( IC ESCR) dan The Internasional Covenant on Civil and Political ( IC CPR) Rights pada tanggal 30 September 2005, yang masing masing menjadi Undang Undang Nomor 12 dan Undang Undang Nomor 13 tahun 2005.

Namun seluruh nya itu merupakan babak awal dari suatu perjalanan panjang yang masih harus ditapaki.

Tantangan dasar yang dihadapi setelah momen yang sangat bersejarah itu adalah bagaimana mengadakan dan menindaklanjuti keharusan suatu program HARMONISASI HUKUM. Paling tidak ada dua bidang yang harus di harmonisasi yaitu, 1, dalam bidang legislatif, mencakup dua fal, yaitu mengadakan harmonisasi antara sesama peraturan perundang-undangan di tingkat nasional yang selain tidak konsisten dan Koheren, juga selama hampir setengah abad telah menafikan hak masyarakat hukum adat, kedua membentuk rangkaian peraturan daerah kabupaten sesuai dengan Pasal 203 Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagai landasan legal untuk eksistensi masyarakat hukum adat. 

2, dalam bidang eksekutif antara rangkaian peraturan perundang-undangan baru di tingkat nasional tersebut dengan berbagai kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang telah menegasikan baik masyarakat hukum adat maupun hak hak tradisional nya itu.

Sebagai catatan dapat disampaikan bahwa berdasarkan pasal 51 undang undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, masyarakat hukum adat - tentu nya sudah mempunyai legal standing - dapat menjadi pemohon pada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang - atau pasal pasal nya - yang dirasakan telah merugikan hak konstitusional nya. 

Ada beberapa hambatan pokok yang masih harus dihadapi dalam melindungi dan memajukan hak masyarakat hukum adat ini, antara lain hambatan konseptual tidak adanya kesamaan pemahaman apa yang dimaksud masyarakat hukum adat itu, serta hambatan legal, keharusan adanya peraturan daerah kabupaten sebelum suatu masyarakat hukum adat dapat mempunyai legal standing untuk membela hak haknya di depan Mahkamah Konstitusi.

Hambatan konseptual timbul dari tercantum nya empat conditionaluties dalam peraturan perundang undangan nasional mengenai masyarakat hukum adat, yaitu, 1, sepanjang masih hidup, 2,  sesuai dengan perkembangan zaman, 3, sesuai dengan prinsip NKRI dan 4, diatur dalam undang-undang.

Juga sebagai catatan dapat disampaikan bahwa empat persyaratan tersebut merupakan keanehan mengingat bahwa dalam hukum internasional hak asasi manusia, masyarakat hukum adat ( the Indigenous Peoples) termasuk dalam golongan rentan ( vulnerable group) yang justru harus mendapatkan perlindungan lebih dari negara. Dengan demikian, jika suatu masyarakat hukum adat tidak memenuhi salah satu atau semua persyaratan tersebut, maka yang harus mempertanggungjawabkan serta memperbaiki nya justru harus Pemerintah sendiri sebagai lembaga yang secara konvensional bertanggung jawab dalam perlindungan, penghormatan, Penegakan, pemajuan, serta pemenuhan hak asasi.***

*) Penulis adalah Ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan