Breaking News

Tiga Sektor Pengabdian Dalam Development Law


 Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Development Law (hukum pembangunan) adalah suatu sistem yang sensitif terhadap pembangunan yang meliputi keseluruhan hukum subtantip, lembaga hukum berikut keterampilan para sarjana hukum sadar dan aktif mendukung proses pembangunan.. didalam sistem hukum ini, development Law meliputi segala tindakan dan kegunaan yang memperkuat intra struktur hukum seperti lembaga hukum, organisasi profesi hukum, lembaga lembaga pendidikan hukum serta segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelesaian program khusus pembangunan (Michael Hager, dalam Abdurrahman, 1978: 23).

Konsep tentang Development Law adalah selaras pula dengan orientasi baru mengenai pengertian hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh A. Vikhem Runsted yang mengatakan bahwa hukum itu adalah "the legal Machinery in action", yaitu sebagai suatu kesatuan yang mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, prasarana prasarana seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat dan keadaan diri pribadi daripada individu penegak hukum itu sendiri bahkan juga Fakultas Hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum (A. Vikhem Runsted dalam S. Tasrif, Prisma No. 6 tahun ke III/.1973).

Dari teori teori di atas , maka dapat kita kelompokkan pengabdian hukum dalam pembangunan, lanjut dari Michael Hager;

1, Hukum sebagai alat penertib (ondering)

Dalam rangka ini, hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik. 

2, Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing). 

Fungsinya dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara/ kepentingan umum dan kepentingan perseorangan 

3, Hukum sebagai katalisator 

Sebagai katalisator hukum dapat membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (law reform) dengan membantu tenaga kreatif di bidang hukum.

Berkenan dengan konsepsi yang demikian maka pendekatan yang digunakan terhadap hukum pada umumnya adalah pendekatan yang bersifat sosiologis proces dari tingkah laku dan perbuatan orang. Dari proses tersebut nyatalah bahwa manusia sebagai warga masyarakat, senantiasa mengarahkan dirinya kepada suatu keadaan yang dianggap wajar yang terwujud dalam pola pola tertentu. Dan apabila pola pola tersebut mulai tidak dapat menjamin kepentingan kepentingan nya, maka niscaya manusia akan berusaha untuk merubah pola pola tersebut. Dengan demikian maka pola pola yang mengatur pergaulan hidup terbentuk melalui proses pengkaidahan yang tujuannya sangat tergantung pada objek (pengaturan) nya yaitu aspek hidup pribadi dan antar pribadi. Apabila arah proses pengkaidahan tersebut tertuju pada hubungan antar hidup pribadi dan antar pribadi. Apabila arah proses pengkaidahan tersebut tertuju pada hubungan antar pribadi dan ketenangan pribadi, maka proses tersebut menuju kepada pembentukan kaidah hukum. Proses pengkaidahan hukum tersebut mungkin terjadi oleh warga masyarakat atau oleh sebagian kecil dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wibawa (Soerjono Soekanto, Hukum, No. 1/1974).

Dalam pandangan sebagaimana tersebut di atas, biasanya hukum tidak lagi dikonsentrasikan sebagai gejala normatif otonom, akan tetapi sebagai suatu " lembaga sosial" (social institution) yang secara riil mempunyai kaitan dengan berbagai variabel sosial lainnya. Hukum sebagai gejala Sosio empirik dipandang sebagai suatu independen variabel yang menimbulkan berbagai efek kepada apek apek kehidupan sosial lain dan sekaligus juga sebagai dependen variabel yang merupakan hasil dari bermacam macam kekuatan sosial dalam suatu proses kemasyarakatan. Di sini hukum tidak hanya dipandang sebagai efek yang berproses karena merespon pembangunan, akan tetapi juga secara logis akan dikonsepsikan sebagai independen variabel (kausa) yang berfungsi menentukan bentuk dan arah pembangunan ( Soetandyo Wignyosoebroto, Seminar Hukum Nasional III/1974).

Kesimpulan adalah menelaah hubungan hukum dan pembangunan, wajarlah kalau hukum dilihat juga dalam posisi logisnya sebagai faktor yang aktif, kreatif, yang ikut memberi arah kepada pembangunan. Berpangkal tolak dari asumsi demikian ini kita dapat mengatakan bahwa hukum itu mengandung kemampuan untuk menertibkan efek efek positif kepada proses proses sosial budaya.

Menutup kesimpulan ini kita mengutip dalil Von Savigny (1779-1861) tokoh dari Historical Rechtschool yang terkemuka karena katanya " Das Recht wird nicht gemacht, es ist und wird MIT demi volke " (Hukum itu tidak diciptakan, dia ada dan timbul dengan rakyat).

Teori historical ini sudah lama dikembangkan di Indonesia terutama di perguruan tinggi yang bernama Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Semenjak tahun 1958 oleh Prof. M.M. Djojodiguno SH, guru besar hukum adat pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang mengatakan " hukum itu bukan suatu rangkaian ugeran ( norma) akan tetapi suatu karya dari seluruh rakyat. Sifat karya itu pengugeran (normering) yang berarti pembatasan dari pada tingkah laku dan perbuatan orang dalam hubungannya dengan pamrih. Karya tersebut bermaksud menyelenggarakan tata yang adil (lihat bukunya Reorientasi Hukum dan Hukum Adat, Penerbit Universitas, 1958).

Sedangkan kenyataan nya hukum itu merupakan suatu proses yang tumbuh sesuai dengan pertumbuhan zaman nya (Djojodiguno, Kuliah Hukum Adat 1961-1962, yayasan penerbit Gadjah Mada Yogyakarta, 1962)

Hukum itu tumbuh dan tenggelam sebagai hasil karya manusia (Budi dan Daya) untuk menghadapi tantangan alam dan zaman (Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya Kebudayaan).***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan