Fatwa Sebagai Sumber Hukum Dan Sumber Hukum Positif
Tulisan Oleh H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id. - Istilah Fatwa seringkali dihubungkan dengan hukum Islam, karena memang istilah ini berasal dari bahasa Arab. Dalam kaitannya dengan sumber hukum, sudah kita ketahui bersama sebelum nya yaitu dalam hukum Islam terdapat dua sumber hukum utama yaitu Al Quran dan Sunnah Rasulullah.
Fatwa yang merupakan hasil pemikiran manusia tentu saja tidak dapat dikategorikan sebagai sumber hukum Islam yang utama. Sebagai hasil pemikiran manusia, fatwa dapat dikategorikan ke dalam ijtihad, karena dalam proses penetapan fatwa dilakukan dengan suatu metode metode penetapan hukum dengan Ushul fiqh. Syarat syarat Mufti juga harus terpenuhi. Fatwa termasuk sumber hukum ketiga yaitu ijtihad.
Apabila melihat pada praktek peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan Pengadilan Agama, fatwa dapat dimasukkan kedalam pendapat ahli hukum fatwa. Fatwa yang merupakan pendapat pendapat mengenai hukum Islam atas suatu persoalan dapat dijadikan suatu sumber hukum sebagai bagian pertimbangan hukum bagi hakim untuk menyelesaikan perkara pada nya. Penggunaan fatwa dapat dijadikan sebagai sumber hukum antara lain karena:
1, isi fatwa didasarkan pada syariat Islam dengan menggunakan ketentuan usul fiqih dalam penetapan nya.
2, fatwa dibuat oleh Mufti yang telah memenuhi syarat, sehingga pendapat pendapat yang dikemukakannya adalah tidak sembarang. Hal ini juga memberikan suatu citra dan wibawa yang baik terhadap fatwa yang dibuatnya.
3, isi fatwa tersebut adalah sesuatu yang tidak atau belum diatur dalam suatu hukum yang mengikat. Apalagi isi fatwa tersebut mengatur sesuatu yang bertentangan dengan hukum yang mengikat (perundangan undangan), maka harus dipertimbangkan secara kontekstual terhadap nilai nilai yang terkandung di dalamnya dengan pertimbangan pula rasa keadilan yang ada dalam menerapkan pada perkara padanya.
Dalam peradilan, hakim hakim dapat bertanya (keterangan ahli) kepada Mufti untuk meminta pendapat nya atas suatu masalah hukum dari perkara yang sedang ditangani nya.
Salah satu pembentukan hukum yang dilakukan dalam hukum Islam adalah melalui putusan pengadilan, yaitu ketentuan hukum yang dibuat oleh hakim untuk menyelesaikan perkara yang terjadi di antara dua atau lebih pihak yang bersengketa.
Prof. T.M.Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan putusan tersebut dalam dua bentuk yaitu:
a, lembaga peradilan (kekuasaan mengadili dan memutuskan perkara). Ulama mengartikan qadha adalah kekuasaan mengadili perkara.
b, memutuskan perkara. Menyelesaikan perkara untuk melenyapkan gugat menggugat dan untuk memotong pertengkaran, dengan hukum hukum syara yang bersumber pada Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah (TM. Hasbi Ash Shiddieqy dalam Al. Fairuzabady : idem).
Peran utama di dalam lembaga peradilan adalah hakim, sebagai orang yang dipercaya karena memiliki dan menguasai ilmu hukum sehingga dianggap mampu untuk menyelesaikan perkara. Kedudukan hakim di dalam Islam, diawali dengan menempatkan orang orang berilmu hukum syariah untuk memberikan permasalahan, yang ada. Hal ini telah dilakukan sejak masa Rasulullah di mana beliau juga berperan sebagai hakim untuk menengahi perkara yang terjadi pada masanya sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Penyebaran ajaran Islam ke berbagai negeri, membuat para hakim ini juga diberikan kepada sahabat sahabat Rasulullah,.
Seperti Muadz bin Jabal, untuk menengahi perkara yang terjadi di negeri itu.
Banyaknya perkara yang sering kali terjadi di masyarakat, memposisikan lembaga peradilan memiliki kedudukan penting di setiap Negara. Orang orang yang ditempatkan sebagai hakim adalah orang orang terpilih dan diangkat oleh Negara untuk menjalankan sebagian tugas negara dalam rangka menciptakan kesejahteraan warganya. Putusan yang diberikan oleh hakim di pengadilan, merupakan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara karena hukum yang diputuskan oleh hakim adalah jalan keluar yang dipandang terbaik oleh hakim untuk menyelesaikan perkara.
Proses pembentukan hukum yang dibuat hakim, adalah suatu ijtihad. Hakim berupaya dengan sungguh sungguh untuk membentuk Hukum dengan berlandaskan pada syariah yaitu Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Selain itu, hakim dapat pula menggunakan landasan hukum lainnya seperti peraturan perundang-undangan, doktrin hukum dan kebiasaan. Namun demikian, untuk memutuskan perkara tersebut, hakim juga harus berlandaskan pada fakta peristiwa hukum dari perkara yang ada. Alat alat bukti yang dapat diterima dari para pihak yang berperkara menjadi pertimbangan hakim.
Dalam ilmu hukum positif telah diatur di.dalam Undang Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu UU No. 48 tahun 2009.
Pasal 5; hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
b, Pasal 10: pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
c, Pasal 50 ayat (1)
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili..
Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa sumber hukum dalam praktek peradilan di Indonesia terbagi atas hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. atau juga disebut hukum yang hidup dalam masyarakat. , atau juga disebut hukum kebiasaan ataupun juga disebut HUKUM ADAT.
Sumber hukum perundangan undangan diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004.
Kembali ke FATWA atau umumnya di dalam ilmu hukum modern disebut DOKTRIN, sebagai LEGAL OPINION ( pemikiran ahli hukum) dapat digunakan sebagai SUMBER HUKUM.
Menurut A. Qodri Azizy, bahwa doktrin dapat dijadikan pisau analisis hakim untuk melakukan interpretasi terhadap isi sebuah pasal tertentu. Terlebih lagi ,,,,,,,,, pasal itu sudah dianggap ketinggalan zaman atau bahwa pasal tersebut masih produk penjajahan Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan budaya dan kehendak masyarakat Indonesia yang berasas Pancasila dan UUD 1945.
Yang dalam kalangan dunia hukum di sebut Hukum Nasional (hukum Pancasila).***
*) Penulis adalah Ketua JPM Sriwijaya Sumatera Selatan