Akulturasi Budaya di Nusantara (Hindu-Budha)
Oleh: Albar Sentosa Subari*)
PORTALMUSIRAWAS.COM -.Agama
Hindu dan Buddha merupakan dua agama yang dianut oleh nenek moyang Indonesia
sebelum Islam datang. Kebudayaan dari kedua agama sudah mendarah daging dalam
tubuh sebagai besar masyarakat Di Nusantara. Terbukti, sampai era modern
sekarang pun, banyak tradisi dan budaya warisan Hindu dan yang tetap
dipraktekkan secara rutin oleh sekelompok anggota masyarakat. Bahkan konon,
seorang wali penyebar agama Islam (wali songo) di Jawa (khususnya Jawa Tengah
bagian selatan dan Jawa Timur) melakukan akulturasi (akulturasi adalah proses
pemaduan dua kebudayaan atau lebih sebagai melahirkan kebudayaan baru, tetapi
tidak menghilangkan unsur unsur penting dari masing masing kebudayaan:
Sardiman, Jakarta, Yudistira, 2008
dalam Rizem Aizid).
Dengan metode ini, para wali songo berhasil mengislamkan
masyarakat pedalaman Jawa, khusus Jawa Timur dan Jawa Tengah (kecuali daerah
pesisir Utara).
Kenapa Metode Akulturasi budaya yang digunakan saat itu
mengingat masyarakat Jawa kala itu sudah memiliki budaya yang mapan dan tidak
bisa dihilangkan begitu saja.
Kebudayaan masyarakat Jawa sebelum masuknya Islam
dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha.
Ingat teori Receptcio in complektio yang dipopulerkan oleh
sarjana Belanda yaitu Prof. Van Keyzer dan Prof. Van den Berg - Prof. Van den
Bosch yang berteori bahwa kebudayaan suatu komunitas masyarakat hukum adat akan
menerima secara bulat dari agama yang mereka anut. Contohnya di Sumatera
Selatan kita kenal dengan Simbur Cahaya (UUSC- penulis nyebut nya Kompilasi
Simbur Cahaya).
Kebudayaan masyarakat Jawa sebelum masuknya Islam
dipengaruhi oleh agama Hindu dan Buddha. Sebab kedua agama itu telah masuk ke
Nusantara ratusan tahun sebelum Islam datang.
Sehingga tidak heran bila kebudayaannya sudah mendarah
daging dalam tubuh masyarakat Jawa. Maka agar Islam bisa diterima di tengah
masyarakat yang sudah memiliki budaya mapan (seperti orang Jawa), akulturasi
budaya merupakan alternatif terbaik. Dengan metode ini, masyarakat Jawa (dahulu)
dapat menerima terhadap agama Islam. Sehingga, mereka dapat menerima ajaran
Islam dengan hati terbuka.
Agama atau kebudayaan Hindu dan Buddha masuk ke Nusantara
melalui dua jalur, sebagaimana dijelaskan dalam banyak literatur, yaitu jalur
darat dan jalur timur.
Minimal ada empat teori yang menjelaskan tentang masuknya
agama Hindu dan Buddha ke Nusantara, yaitu teori Waisya, teori Kesatria, teori
Brahmana dan teori Arus Balik.
Pertama, teori Waisya, dipopulerkan oleh Dr. N.J. Krom.
Teori ini menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dilakukan oleh
para pedagang. Sebelum pulang ke India, para pedagang itu harus menunggu
datangnya angin Monsun selama enam bulan. Selama masa penantian itu, mereka
berdagang di wilayah Nusantara. Ada pula yang menikah dengan pribumi sambil
menyebarkan agama yang dianut nya.
Kedua, teori Kesatria. Dr. F.D.K. Bosch adalah sarjana yang
mengemukakan teori kedua ini. Menurut teori ini, penyebar agama dan kebudayaan
Hindu dilakukan oleh kaum Kesatria. Di mana di dalam nya termasuk kaum Kesatria
dalam kebudayaan Hindu adalah para raja. Beberapa Raja besar di India datang ke
Nusantara dalam rangka penaklukan wilayah. Kemudian, setelah berhasil
menaklukkan wilayah sebagian Nusantara, mereka mendirikan kerajaan kerajaan
Hindu. Ini satu versi dari teori ini.
Ada pula yang berpendapat bahwa kaum Kesatria yang dimaksud
adalah kesatria yang kalah di India dan berlari ke bumi Nusantara.
Ketika, teori Brahmana, penganut teori ini adalah Dr. J.C.
Van Leur. Menurutnya, agama Hindu masuk ke Nusantara melalui kaum Brahmana. Konon,
para penguasa di Nusantara mengundang kaum pendeta atau Brahmana dari India
untuk persoalan persoalan religius, seperti meminta perlindungan pada dewa atau
untuk memberi restu. Dikarenakan mereka adalah Brahmana, tentu saja budaya yang
mereka bawa dan disebarkan adalah budaya Brahmana. Akan tetapi, teori ini masih
diragukan kebenarannya. Sebab, menurut tradisi Hindu di India, seorang Brahmana
dilarang meninggalkan tempat tinggal nya. Seandainya ia meninggalkan tempatnya
dan merantau jauh hingga ke negeri seberang, status Brahmana nya hilang. Jadi
sekali lagi, teori Brahmana sebagai salah satu teori masuknya Hindu ke
Nusantara dinilai sangat lemah.
Keempat, teori Arus Balik. Tidak hanya mendukung teori
Kesatria, Dr. F.D.K. Bosch, juga mendukung teori keempat, yaitu teori arus
balik. Menurut teori ini, dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara
ada keterlibatan aktif dari masyarakat pribumi. Bosch berpendapat bahwa orang
orang India datang ke Nusantara untuk menyebarkan Hindu dan Buddha. Kemudian,
ada sejumlah tokoh masyarakat yang tertarik pada kebudayaan dan ajaran yang
dibawa orang India tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang
pribumi yang pergi ke India untuk berziarah dan belajar agama Hindu dan Buddha.
Sudah mereka kembali ke Nusantara, mereka mengajarkan pengetahuan agama dan
kebudayaan Hindu dan Buddha yang diperolehnya kepada masyarakat sekelilingnya.
Itukan beberapa teori tentang masuknya agama dan kebudayaan
Hindu dan Buddha ke Nusantara.
Sebagai untuk mengingatkan pelajaran kita dulu disaat
belajar sejarah agama dan kebudayaan di masa pendidikan menengah bahwa agama
dibedakan jadi empat jenis, yaitu animisme, dinamisme, politeisme dan
monoteisme.
Kembali teori RECEPTCIO IN COMPLEKTIO, kita mengutip Emil
Durkheim, agama atau kebudayaan manusia mengalami evolusi.
Animisme dan Dinamisme merupakan sistem kepercayaan yang
paling primitif. Yaitu kepercayaan yang dianut oleh manusia purba, yaitu
manusia belum " berperadaban". Mempercayai adanya kekuatan di luar
kekuatan fisik, di mana kekuatan itu berasal dari roh roh orang yang sudah
meninggal dunia (animisme) dan percaya kepada kekuatan alam (dinamisme). E. B.
Taylor mengatakan (animisme), setelah manusia meninggal jiwa atau roh akan
meninggalkan jasmani dan berpindah serta menempati mahluk mahluk hidup atau
benda benda material. Agar mereka itu tidak mengganggu manusia, diadakanlah (BUDAYA)
pemujaan atau penyembahan terhadap nya, (animisme berasal dari kata latin,
animus yang berarti jiwa.).
Sementara, dinamisme (Baca Budaya) di mana pemujaan karena
adanya kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan yang
dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan manusia dalam meraih kesuksesan (lihat
Rusyja Rustam dan Zainal A. Harus, Yogyakarta, 2018)..
Dari animisme dan dinamisme, agama berevolusi menemukan
bentuk terbaru, yaitu politeisme. Adalah kepercayaan kepada banyak Tuhan (Hindu
dan Buddha masuk dalam era ini karena menyembah dan mempercayai dewa dewa dan
Dewi-Dewi (banyak tuhan').
Baru setelah itu bentuk terakhir yaitu monoteisme (percaya
pada satu Tuhan).***
*) Penulis adalah Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan