Dua wujud Hukum Dalam Pembangunan Nasional
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Hukum dalam kaitannya dengan kerangka dasar pembangunan nasional tersebut mewujudkan diri dalam dua wajah.
Di satu pihak hukum memperlihatkan diri sebagai objek dari pembangunan dalam arti bahwa hukum dilihat sebagai suatu sektor dari pembangunan itu sendiri yang perlu mendapatkan prioritas dalam usaha penegakan pengembangan dan pembinaannya, sedangkan di lain pihak hukum itu harus dipandang sebagai alat (tool) dan sarana penunjang yang akan menentukan keberhasilan usaha usaha pembangunan nasional di negara kita.
Mengenai masalah hubungan antara hukum dan pembangunan ini ada berbagai konsepsi yang diajukan oleh para ahli hukum. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa suasana pembangunan sebagaimana yang dilaksanakan di negara kita, hukum berfungsi bukan hanya sekedar "as a tool of sosial control" dalam arti sebagai alat yang berfungsi mempertahankan stabilitas, akan tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Roscoe Pound (1870-1964) tokoh terkemuka dari aliran "sosiologi jurisprudence" adalah "as tool of sosial engineering" (Roscoe Pound dalam Abdurrahman, 1978).
Dr. Sunaryati Hartono SH berpendapat bahwa hukum itu adalah merupakan salah satu "prasarana mental" untuk memungkinkan terjadinya pembangunan dengan cara tertib dan teratur, tanpa menghilangkan martabat kemanusiaan dari anggota anggota masyarakat di mana ia berfungsi untuk mempercepat proses pendidikan masyarakat (merupakan bagian dari pada " social education) ke arah sikap mental yang paling sesuai dengan masyarakat yang di cita cita kan (Idem).
Seminar hukum nasional ke III di Surabaya (1974) berkenan dengan hal ini telah mengkonstatir bahwa hukum merupakan salah satu sarana penting bagi pembangunan yaitu baik dari sebagai penjamin kepastian dan ketertiban dalam proses pembangunan, maupun sebagai alat untuk mengadakan perubahan perubahan ke arah kemajuan untuk membina masyarakat yang dicita citakan.
Dengan demikian maka konsepsi tentang hukum sudah beranjak jauh meninggalkan konsepsi lamanya. Konsep lama yang menyatakan "het Recht hink achter de fertenaan" (hukum mengikuti perkembangan masyarakat) menurut Prof Dr Muchtar Kusumaatmadja SH LLM sudah ditinggalkan (Mochtar Kusumaatmadja, 1976)..
Namun di sisi lain yang sering dialamatkan kepada pengaturan oleh hukum pada umumnya adalah bahwa hukum itu sering menimbulkan suasana tirani peraturan peraturan atau penjajahan oleh hukum. Hal ini karena hukum hanya berpegangan pada kewenangan nya untuk mengatur, memerintah, memaksa dan melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah ketentuan yang dibuat nya dapat dijalankan secara efektif. Dalam keadaan demikian lalu orang bertanya, apakah tidak terlalu menegakkan semboyan "manusia untuk hukum" bukannya "HUKUM UNTUK MANUSIA".
Oleh karena itu di dalam konsep SOCIAL ENGINEERING ini sangat penting peranan dari umpan balik (feedback) agar peraturan itu senantiasa dapat disesuaikan kepada keadaan yang timbul di masyarakat (Lihat Satjipto Rahardjo, Kompas Senin, 17 Maret 1975).
Hal yang sama juga pernah disampaikan saat penulis berdiskusi dengan Prof. Dr. H.M. Koesno SH, di sela sela mendiskusikan agar beliau bersedia memberikan kuliah umum di kampus Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (saat itu penulis sebagai plh . Dekan FH UNSRI, karena bapak Gustam Idris, SH selaku dekan sedang menunaikan ibadah haji).
Di zaman sebelum reformasi istilah " law as a tool of social engineering" , sangat populer karena baru dikenalkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto SH serta bapak Prof. Purnadi Poerbatjaraka, SH, keduanya dosen luar biasa waktu itu di FH UNSRI dengan mata kuliah Sosiologi Hukum dan Filsafat Hukum.
Oleh Garis Garis Besar Haluan Negara waktu itu istilah tersebut diperhalus dengan HUKUM SEBAGAI SARANA PEMBANGUNAN.
Memang kalau kita hanya melihat secara sepihak, hukum dalam posisinya sebagai dependen variabel adalah jelas hukum itu adalah kristalisasi dari berbagai kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan yang juga secara nyata dapat memberi bentuk dan menentukan wujud terhadap sesuatu hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena adanya perbedaan dalam hal berbagai hubungan dan kekuatan kekuatan sosial ini antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, terlihat perbedaan antara hukum dalam masyarakat yang satu dengan yang yang berlaku di masyarakat lainnya karena semua nya tergantung pada hal tersebut. Setiap bangsa dan siku bangsa, mempunyai hukum nya sendiri, demikian dalil von Savigny (1779-1861) tokoh dari Historical Rechtschool yang terkemuka itu yang mengatakan dalam bahasa Indonesia Hukum itu tidak diciptakan, dia ada dan timbul dengan rakyat Von Savigny dalam Abdul Wahid Salayan, SH, 1965.)
Konsepsi yang demikian sebenarnya juga sudah cukup lama tumbuh dan berkembang di kalangan ahli hukum kita. Semenjak tahun 1958. Prof. M.M. Djojodiguno SH. Guru Besar Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Gajahmada Yogyakarta telah menegaskan bahwa hukum itu bukan suatu rangkaian ugeran (norma) akan tetapi suatu karya dari seluruh rakyat. Sifat karya itu adalah pengugeran (normering) yang berarti pembatasan dari pada tingkah laku dan perbuatan orang dalam hubungan nya dengan pamrih. Karya tersebut bermaksud menyelenggarakan tata yang adil.
Pandangan yang demikian kemudian dipertegas nya kembali dalam salah satu karya nya yang ditulis untuk Universitas Nijmegen di Negeri Belanda tahun 1971 (lihat bukunya berjudul Menjandra Hukum Adat, Badan Penerbit Borobudur, Jogyakarta, 19 Desember 1950 dan bukunya Re Orientasi Hukum dan Hukum Adat, Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 21 Juli 1958.
Kesimpulan nya adalah bahwa dalam masyarakat yang sedang membangun sebagai mana di negara kita hukum harus lah berorientasi ke masa depan (forward looking) bukan berorientasi ke masa silam (back ward looking), seperti halnya dalam suasana masyarakat kita sebelum kemerdekaan di mana segala pemikiran tentang hukum harus lah dikaitkan dengan kerangka dasar pembangunan nasional sehingga segera studi tentang hukum harus benar benar merupakan studi yang menunjang pembangunan tersebut.
Bukan kembali kepada nostalgia nostalgia masa lalu berkenan dengan cerita dari masa ke masa yang sudah out of date. Yang mungkin saja ada yang bertolak belakang dengan situasi dan kondisi dewasa ini.***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan