Di balik Cerita "Atung Bungsu"
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Tulisan ini berjudul "Di balik Cerita Atung Bungsu" teringat nya penulis tentang nama bandara perintis yang berlokasi di Kota Pagaralam yang dulunya sebelum pemekaran wilayah kota dan kabupaten di Sumatera Selatan termasuk wilayah kabupaten Lahat.
Penulis teringat dengan nama bandara tersebut karena ada dua kali pergi pulang mendarat dengan pesawat udara, karena ada kegiatan dari Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan, kalau tidak salah waktu itu persemian Desa Adat (Desa Benawe) dengan teman teman dari pusat. Salah satunya Bapak Rahmat dari WRI dan bapak Prof. Dr. Ir. Rudjito sebagai ketua.
Yang kedua, beberapa hari yang lalu di media cetak maupun elektronik terpetik berita "Bandara Atung Bungsu Akan Diambil Alih", dan terakhir berita yang termuat dalam harian pagi yang terbit tanggal 25 Juni 24 di halaman 5, kolom Lematang - Besemah berjudul "Pemkot Pertahankan Bandara Atung Bungsu". , karena ada somasi yang disampaikan oleh kuasa hukum dari kliennya yang merasa dirugikan karena lahannya digusur untuk pembangunan Bandara Atung Bungsu kota Pagaralam, sebagaimana dikutip oleh media dari kepala bagian hukum Pemkot kota Pagaralam, Senin, 24/6/24.
Lebih lanjut Kabag Hukum mengatakan peristiwa tersebut sudah lama terjadi yaitu tahun 2004.
Tentu kita tidak akan lebih jauh memasuki kompetensi hukum dari masing masing pihak. Karena persoalan nya sedang dalam proses mencari keadilan di lembaga penegak hukum, kita tunggu saja penyelesaian secara prosedural yang berlaku di negara kita dengan hukum positif nya.
Pada kesempatan ini penulis ingin menurunkan beberapa cerita tentang siapa sebenarnya sosok Atung Bungsu tersebut sehingga dilekatkan menjadi nama sebuah bandar udara di kota Pagaralam tersebut tentu ada sebab musabab setidaknya cerita cerita yang ada pada masyarakat di sana.
Untuk itu penulis dengan izin ahli warisnya Adinda M.Khalifah Alam, S.Ag ( teman sewaktu kami aktif di HMI cabang Palembang) untuk mengutip buku yang diterbitkan beliau selaku Direktur Sijarum Institute bersama rekan rekan buku TG. K.H.Drs. Thohlon Abd. Rauf, berjudul Jagat Besemah Lebar Semende Panjang.
Pada Bab II Jagat Besemah Lebar Sebelum Islam.
Cerita ini tidak terlepas dari sejarah asal muasal Komunitas Masyarakat Hukum Adat BASEMAH..
Penulis hanya mengambil dari kutipan buku tersebut hanya dua cerita yang menurut kacamata penulis ada kaitannya dengan Puyang ATUNG BUNGSU.
Cerita pertama ( dalam tulisan ini) tentang ikan Semah ialah saat rombongan ( ekspedisi) Puyang ATUNG BUNGSU mudik sungai Lematang pada tahun 1212, belok kiri kesalahan satu anak sungai, kemudian (Lingga Tugu), pemilik tanah untuk menetap) di dusun Tanah Pilih dan Benua Keling Kota Pagaralam sekarang.
Diberikan nama Benua Keling adalah kenangan dari Puyang ATUNG BUNGSU kiranya, daerah baru yang dipilih akan sama jayanya dengan negeri leluhurnya di India Selatan, yakni Kemaharajaan Kalingga.
Setelah pondok pangkul masing-masing anggota rombongan selesai dibuat Puyang Betine ( isteri Atung Bungsu) yang bernama Ginde Suli beserta para perempuan para isteri anggota rombongan " mbasuh beghas" ( mencuci beras) di lubuk sebelah perkemahan tersebut ; Alang, kagum dan terperanjat Puyang Ginde Suli dan rombongan, begitu air beras memutih kelihatan lubuk yang lebar itu penuh dengan IKAN SEMAH........ melihat itu Puyang ATUNG BUNGSU berkata " Jagat yang sangat lebar ini mempunyai ikan Semah yang banyak sekali, maka sejak sekarang jagat ini kunamakan JAGAT BESEMAH LEBAR.
Lubuk tersebut dinamakan Lubuk Ginde Suli, dan anak sungai Lematang itu diberi nama AIK BESEMAH.
Cerita kedua (dalam tulisan ini) menceritakan mahkota Atung Bungsu Sinuhun Putra (menurut silsilah halaman 27) Atung Bungsu (Diwe Besemah 1191)
Pendek cerita nya tentang kesaktian Puyang Atung Bungsu akan menghadiri acara perhelatan. Beliau datang berbusana biasa rakyat bertongkat bambu dua ruas. Masing masing ruas berisi gulai ikan dan yang satunya berisi nasi. Masyarakat tidak mengacuhkan nya kecuali Ratu Sandang Biduk beserta suami serta abdi dalem yang tua tua.
Karena hajatan tersebut dihadiri oleh tamu undangan yang diperkirakan melebihi persiapan makan , Ratu Sandang Biduk beserta keluarga istana panik. Melakukan hat suasana begitu Puyang Atung Bungsu memanggil Ratu Sandang Biduk mengambil olehnya dua ruas buluh tersebut dan menyuruh menyiapkan dandang nasi dan gulai. Ajaib' setelah seruas buluh dicurahkan Puyang Atung Bungsu, maka keluarlah nasi yang tak habis habisnya, demikian juga ruas yang berisi ikan tadi..
Sejak peristiwa kesaktian itu Puyang Atung Bungsu menjadi sanjungan tak kecuali dibanggakan kedua mempelai ikan Semah dan jagat Besemah menjadi buah tutur kalangan istana dan masyarakat ramai.
Dengan ilustrasi cerita cerita di atas, mudah mudahan perselisihan sengketa perdata antara pihak pemerintah kota Pagaralam dengan masyarakat hukum adat Besemah melalui kuasa hukumnya Mading masing dapat mengakhiri sengketa tersebut secara musyawarah mufakat sebagai ciri utama masyarakat hukum adat di Nusantara tak kecuali masyarakat hukum adat kota Pagaralam alias masyarakat hukum adat Besemah.***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan