Perilaku "Mumpung" Menjelang Pilkada 2024
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Menarik membaca Salam Sriwijaya dari sebuah tajuk harian lokal Sumatera Selatan tanggal 16 Mei 24, berjudul Mumpung Ada Kesempatan.
Setelah disimak sepertinya ada persamaan maknanya dengan tulisan saya di media sosial online "Jendela kita.my. Id, ditanggal dan hari yang sama yaitu Caleg Terpilih Wajib Mundur, jika maju Pilkada 2024.".
Mumpung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, cetakan kedua 1989, halaman 599 : bermakna selagi; kebetulan, selagi masih berkuasa (punya kedudukan) atau ada kesempatan.
Jadi mumpung itu secara umumnya dimaknai adanya kesempatan, jadi harus dimanfaatkan dan tidak akan terulang kedua kalinya.
Mengutip kalimat "Salam Sriwijaya". Inilah momentum kira kira begitu opini yang terbangun di dalam masyarakat menyikapi dinamika Pilkada 2024 (istilah penulis dalam artikel yang dimuat secara online "Jendela kita" adalah Pernak Pernik).
Para pejabat atau mantan pejabat saat pemilihan legislatif, ramai ramai mendorong keluarga, mulai dari isteri, anak, ipar, saudara hingga menantu mencalonkan diri, seolah olah berlomba mencari kehidupan di ladang kekuasaan.
Perilaku politik keluarga diperlihatkan lagi seolah olah tidak lagi mempertimbangkan faktor etik. Mereka pejabat negara menyorong isteri hingga anak untuk maju di kontestasi politik lima tahunan sehingga membangun opini publik merekam ada kecemasan kalau tidak berkuasa. Dinasti politik seperti ini tidak membuka ruang bagi calon calon lain yang mempunyai potensi untuk maju dan terpilih . Walaupun kualitas dan profesional nya tidak kalah mungkin juga lebih dari mereka
Partai diborong jaringan kekuasaan, dimainkan, jelas mematikan langkah bagi calon rivalitas. Jika budaya seperti ini berkepanjangan maka ruang kekuasaan (eksekutif dan legislatif) akan dimainkan oleh orang orang itu juga. Dan otomatis, perkembangan demokrasi akan semakin buruk, karena kekuasaan akan diturunkan secara turun menurun yang dilegalisasi lewat pilkada ataupun pemilihan langsung.
Cerita ini bukan masalah hak asasi bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama, sehingga tidak ada orang yang berhak menghalangi. Namun lebih besar dilihat dari sisi ETIK, sepertinya kurang pas dalam berbangsa dan bernegara.
Belum lagi didorong oleh situasi dan kondisi dewasa' ini kita lebih banyak bicara soal prosedural bukan subtantip.
Padahal di dalam berjalannya roda kehidupan kita tidak terlepas dari kedua unsur yaitu unsur riil dan unsur idel.Yang selama ini kita jadikan philosofi melalui sila sila Pancasila.
Belum lagi kalau kita membaca perkembangan menjelang pilkada, seperti yang dimuat di berita terbaru adanya sikap tidak konsisten dari lembaga penyelenggara pemilu. Beberapa waktu yang lalu ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari, mengatakan bagi caleg terpilih tidak perlu mundur jika ingin maju Pilkada 2024. Kemarin Rabu 15 Mei 24 di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di depan komisi 2, bersama Mendagri, dan Bawaslu, meralat pernyataan nya terdahulu. Bahwa yang benar adalah Caleg Terpilih Wajib Mundur jika maju Pilkada 2024. Seperti ada apa, setidaknya perlu dianalisis.
Sedangkan KPU hanya merupakan lembaga setingkat Komisi yang bertugas melaksanakan aturan aturan dalam perundangan undangan. Bukan Lembaga yang berhak melakukan interpretasi atau penafsiran. Kalau pun memang ada kekosongan hukum atau Rechtside vakum, maka KPU harus bersama dengan lembaga negara yang lain. Kalau tidak berdampak pada legalisasi hasil kerja nya.
Dan ini sudah menjadi pengalaman kita bersama yang sampai sekarang masyarakat masih bertanya tanya belum bisa menerima secara utuh dan bulat.
Sehingga jangan sampai terulang kembali. Wallahu a'lam.***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan