Breaking News

Gelar Haji dan Hajjah Alat Kontrol Kolonial


 Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Kajian kali ini hanya bersifat historis tentang asal muasal penggunaan kata Haji Dan Hajjah yang disingkat dengan huruf H dan Hj (ditulis kapital).

Tentu akhir akhir ini telah bergeser pemaknaan nya tergantung dengan niat dan sudut pandang serta budaya orang atau dalam komunitas tertentu.

Kebiasaan tradisi ini hanya dikenal di tanah Melayu khususnya kita bangsa Indonesia. Karena secara historis Indonesia menjadi bangsa jajahan dari kolonialisme (Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang) tentu baik langsung ataupun tidak akan berdampak pada perilaku masyarakat Indonesia akibat kebijakan pemerintah kolonial Belanda khususnya saat itu.

Mengamati budaya tersebut minimal dapat kita telusuri dari tiga aspek. Namun pada kesempatan ini penulis mencoba melihat dari sisi historis nya saja karena sedikit banyak akan berkaitan dengan tradisi adat istiadat masyarakat hukum adat Indonesia.

Pada zaman kolonial Belanda, pernah melarang mereka mereka yang ingin bepergian ke tanah suci untuk melakukan ibadah Haji, karena ditakutkan akan menjadi bumerang mereka, karena dikhawatirkan mereka mereka yang pulang ke tanah air akan terkontaminasi oleh faham faham khusus di dalam perjuangan kemerdekaan.

Maka untuk memata matainya pada tahun 1872, kolonial membuka konsulat di Arabia. Dengan tugas mencatat pergerakan jemaah yang datang dari Hindia Belanda. Dengan simbol menggunakan busana dan atribut haji agar mudah dikenali dan dimonitor keberadaan. Sebab dahulu saudara saudara kita yang berangkat ke tanah suci tidak secepat sekarang pulang pergi hanya lebih kurang 40 hari, tapi saat itu sampai berbulan bulan akibat alat transportasi belum secanggih sekarang. Malah ada yang menahun, berguru dan belajar kitab suci serta ajaran Islam lainnya.

Menurut salah satu sumber Kompas, com, gelar haji mulai digunakan di Indonesia sejak zaman kolonial tepat medio tahun 1916.

Kita ingat memang di awal masuk abad ke XX, pergerakan perlawanan masyarakat Indonesia untuk merdeka sudah muncul beberapa pergerakan, ambil contoh lahirnya Organisasi organisasi masyarakat yang berafiliasi ke bidang politik. Misalnya Budi Oetomo, (sebentar lagi kita peringati), Sumpah Pemuda dan lainnya organisasi keagamaan Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan lain sebagainya.

Ini membuat kolonial berhati hati.

Karena saat itu Islam merupakan salah satu kekuatan anti kolonialisme.

Oleh karena itu seseorang yang baru pulang dari tanah suci Mekkah biasanya mendapat perhatian khusus dari komunitas nya.

Sebagai antisipasi dan pengawasan gelar Haji dan Hajjah sebagai tanda dan mulai diatur dalam Staatsblad 1903. Dengan maksud pemerintah kolonial mudah melakukan pengawasan terutama bagi para jemaah yang mereka curigai untuk melakukan perlawanan.

Oleh karena itu sejak tahun 1916, setiap umat muslim pulang dari tanah suci Mekkah akan diberi gelar haji.

Sebenarnya kalau kita mau telusuri lebih jauh cerita nya, ini tidak terlepas juga dari teori ilmu hukum adat yang dikembangkan oleh ilmuwan ilmuwan Belanda antara lain oleh Prof. Keyzer, Prof. Van den Berg, yang mengajarkan teori Receptcio in complektio yang mengatakan bahwa agama suatu masyarakat akan tercermin dalam adat istiadat mereka.

Melaksanakan ibadah haji merupakan rukun Islam yang ke lima.

Yang wajib dilakukan setiap umat muslim yg mampu. 

Di sisi lain setelah kembali ke tanah air mereka umumnya mendapatkan status setidaknya tidak atau belum sama dengan yang belum pergi haji.

Ambil contoh nya saat berangkat dan pulang nya mereka haji, akan disambut dan diberangkatkan secara adat tradisi yang berlaku di komunitas masing masing.

Setelah itu biasanya mereka menggunakan tutup kepala yang disebut kopiah HAJI (warna putih) bagi laki-laki, ini secara tidak langsung suatu simbol mereka mereka yang sudah berangkat menunaikan haji , dan biasa' dipanggil oleh komunitas nya dengan sebutan Kak, atau adik Haji, bahasa kumoring na Nai Haji, kiyai haji dan lain lain sebutan.

Terlepas dari semua cerita di atas, akhirnya tergantung pada kita individu masing masing memaknai. Yang penting jangan sampai salah NIAT dari tujuan melaksanakan ibadah rukun kelima tersebut.

Tulisan ini seiring dengan keberangkatan jemaah haji Indonesia ke tanah suci di tahun 2024, 1445 H, semoga menjadi haji MABRUR. Aamiin.***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan