Breaking News

Patologi Demokrasi

Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Hendra Nurtjahjo dalam Syaiful Arif, 2016 , menulis, sebagai kelemahan teoritis (theorectical vulnerabiliry) dari demokrasi itu sendiri. Artinya, sejak dalam ranah teoritis nya, demokrasi telah memiliki kelemahan sehingga sebagai bangunan sistem politik, ia memuat patologi yang membuat sistem demokrasi tidak mampu mewujudkan cita-cita dasarnya sendiri.

Kelemahan ini terkait dengan sifat landasan teoretis nya yang tidak searah dengan prinsip etika. Artinya, prinsip teoritis nya tidak berbanding lurus dengan prinsip etika.

Hal ini terjadi pada istilah kedaulatan rakyat (demos) oleh demokrasi dirujuk kan pada kuantitas dukungan rakyat bukan kualitas kebijakan yang pro rakyat.

Hal ini terlihat pada pola legitimasi yang bersifat sosiologi, bukan legitimasi etika. Dalam legitimasi sosiologis, rakyat dilihat sebagai kuantitas; jumlah yang merepresentasi mayoritas. (Hendra Nurtjahjo, 2008).

Prinsip kuantitas ini menjadi prinsip majoritarianisme (majority rule) di dalam demokrasi sehingga segenap kebaikan, keutamaan, kebenaran, serta keadilan, ditambatkan pada suara mayoritas (Ross Harrison, 1994- dalam Syaiful Arif).

Perumusan kebijakan ditentukan bukan oleh musyawarah (deliberation) diskursif berdasarkan hikmat kebijaksanaan (banding dengan sila keempat Pancasila) melainkan melalui voting. Hal ini bermasalah, tidak hanya karena ia telah melanggar prinsip demokrasi Permusyawaratan, tetapi juga telah menjatuhkan politik demokrasi ke dalam "jurang hitam', pertarungan kekuatan antara kelompok politik. Mengapa terjadi? Karena mekanisme voting telah mengganti perdebatan diskursif berdasarkan akal Budi. Voting pada hakekatnya adalah adu kuat berdasarkan jumlah. Dengan demikian, voting identik dengan pertarungan kekuatan politik yang jauh dari sifat musyawarah.

Prinsip pengambilan suara ini pada libel praktiknya telah membuahkan kebijakan politik yang malah bertentangan dengan nilai nilai demokrasi.

Sejak reformasi 1998, kita telah melakukan pemilihan langsung dalam "pesta demokrasi" yang diselenggarakan secara rutin, bebas dan langsung. Semua boleh mendirikan partai dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, bupati, gubernur dan Presiden. Mekanisme pemilu dilakukan dengan melalui coblos -langsung, di mana rakyat menentukan sendiri orang orang yang berhak memimpin negara. Hanya saja, pemilu langsung yang berangkat dari prinsip pemungutan suara ini tidak sendiri nya melahirkan para pemimpin yang "berhati rakyat".

Dalam demokrasi konvensional, kedaulatan diartikan sebagai kehadiran sebanyak mungkin rakyat.

Rakyat yang mencoblos langsung bisa saja terjebak dalam pesona politik citra yang tampan, gagah tinggi, dan pandai beretorika.

Dalam kasus kasus seperti ini sering dimotivasi oleh irasionalitas politik, sebab rakyat tidak memiliki argumentasi rasional.

Hal ini terlihat dari praktek kampanye para aktor politik, kita masih menggunakan politik citra, yakni pemolesan citra wakil rakyat,melalui iklan dan baliho pinggir jalan dengan slogan slogan politik yang tidak membangun serta tidak mencerminkan para pemimpin yang punya visi jelas, rasional dan aplikatif.

Tidak ada majelis pertanggungjawaban publik, di mana rakyat mempertanyakan rencana program dari calon pemimpin dan oleh karenanya, proses pemilihan berangkat dari hasil penilaian atas debat publik tersebut. Tidak ada kehendak untuk menyampaikan rencana program secara rasional, yang ada hanya retorika di atas panggung dangdut, di mana pengenalan visi calon pemimpin dihidangkan dalam pesta dangdut yang sangat tidak mencerahkan.

Jadi, pada titik ini jelas sudah bahwa kelemahan teoretis demokrasi terletak pada definisi kedaulatan rakyat secara sosiologis, bukan secara etis. Kedaulatan rakyat dianggap telah ada, ketika mayoritas rakyat terlibat dalam pemilihan umum. Hal ini memang terkait dengan hak universal atas hak suara (memilih); one man one vote yang menjadi keberhasilan cemerlang dari corak demokrasi liberal.

Dalam hak suara ini sebenarnya terselip otoritas individu untuk ikut menentukan arah politik, dalam hal ini melalui memilih dan dipilih sebagai pemimpin politik. Hanya saja, kebebasan individu ini kemudian tereduksi menjadi "massaisasi", sehingga individu yang seharusnya menjadi subjek kesadaran telah disulap menjadi kerumunan massa. Inilah paradoks demokrasi liberal itu, yakni beralihnya kebebasan atau otonomi individu menjadi kerumunan massa dalam prinsip majoritarianisme. Yang banyak "akhirnya menjadi" yang baik dan benar ".***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan