Breaking News

Keadilan Prosedural vs Keadilan Substantif

Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Dua jenis keadilan (prosedural dan subtantip), biasanya dalam beracara di pengadilan umum yaitu khususnya perkara perdata dan pidana, penerapan untuk mencapai suatu keadilan terdapat perbedaan cara pembuktian nya.

Di dalam hukum acara perdata (lihat Soedikno Mertokusumo), maka yang dipentingkan adalah kebenaran prosedural atau bahasa lainnya kebenaran formal.

Artinya dalam suatu kasus perdata hakim dalam hal ini bersifat pasif, untuk mencari fakta hukum yang bisa diterapkan dalam mengambil bukti guna bahan memutuskan suatu kasus yang sedang dia hadapi.

Sedangkan dalam perkara pidana malah terbalik dalam pola pikirnya hakim, karena yang bersangkutan harus aktif mencari kebenaran Substantif atau dalam bahasa lainnya mencari "kebenaran materiil". Karena terbukti tidaknya pelaku tidak terlepas dari kualitas pada hakim yang menangani nya.

Sekarang bagaimana dengan perkara yang yang beracara di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, khususnya yang sedang proses pemeriksaan perselisihan hasil pemilu? Antara pasangan calon urut 01 (Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar - pihak pemohon satu) dan pasangan calon Presiden dan Wakil dari nomor urut 03- sebagai pemohon dua) berhadapan dengan termohon yaitu Komisi Pemilihan Umum serta Badan Pengawas Pemilu.

Sedangkan pihak terkait adalah pasangan calon Presiden dan Wakil nomor urut 02 Paslon Prabowo Subianto dan Gibran.

Awal tahun Pembentukan Mahkamah Konstitusi 2003, pola sistem banyak dipraktekkan adalah mengejar kebenaran formal (prosedural). Karena waktu itu banyak kasus yang dihadapi adalah uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah UUD NKRI tahun 45, malah juga memeriksa peraturan perundang-undangan zaman kolonial.

Namun sekarang dengan perkembangan zaman, kualitas kasus yang ditangani akan berubah sesuai dengan tekhnologi modern.

Kita ambil kutipan dari Mahfud MD yang mengutip pendapat Yusril Ihza Mahendra, dalam kesaksiannya pernah mengatakan: MK jangan hanya Mahkamah Kalkulator (singkatan sama MK, tambahan penulis).

Pertarungan berfikir pola formal - prosedural dan pola Substantif - materiil di dalam pemeriksaan kasus khusus yang sedang berjalan ini, hasil pemilihan umum 2024, terlihat dinamika nya.

Fenomena tersebut dapat kita lihat di dalam setelah menyaksikan persidangan PHPU Pilpres 24, saat para pemohon (01 dan 03) materi permohonan agar majelis pleno hakim mahkamah konstitusi untuk memeriksa proses jalan nya agenda sebelum dan sesudah pencoblosan. Karena itu merupakan rangkaian satu sistem satu kesatuan adanya: jadi yang dicari adalah kebenaran dan keadilan subtantip.

Sedangkan pihak termohon maupun pihak terkait melihat dari pola prosedural - formal.

Terbukti dapat kita lihat dan dengar di media sosial baik cetak maupun elektronik kuasa hukum dari termohon dan pihak terkait memberikan komentar, (yang seharusnya menurut penulis), hal itu kurang tepat karena perselisihan sedang berproses di Mahkamah Konstitusi. 

Beberapa narasi yang terdengar antara lain komentar dari pihak termohon maupun pihak terkait mengatakan permohonan pemohon (1 dan 2) SALAH KAMAR dan lain lain nya.

Dan ini telah di di bantah oleh kuasa hukum Paslon nomor urut tiga, yaitu Todung Mulya Lubis, bahwa polo narasi narasi dari pihak termohon maupun terkait (pola prosedural) yang menjadi alasan mereka tidak cocok atau tidak sama diterapkan di MK.

Hal yang sama pula dikomentari oleh Raffi Harun , kuasa hukum Paslon 01. ***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan