Alam Terbentang Menjadi Guru
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Alam ciptaan Tuhan beserta isi di dalamnya merupakan anugerah yang harus disyukuri atas Rahman dan Rahimnya Allah SWT.
Minimal dapat kita kategorikan apa apa dan menjadi makhluk ciptaan Nya itu.
Minimal dapat kita sebut adalah terdiri dari Manusia, Flora dan Fauza kalau mau menggunakan istilah biologi yang pernah kita dapat dari guru guru di saat kita mengikuti pelajaran IPA dan IPS di bangku pendidikan dasar dan menengah minimal.
Pertanyaan apa keterkaitan antara judul artikel ini dengan kehidupan makhluk makhluk di atas. Kita hanya fokus saja kepada makhluk yang bernama manusia (manusia yang berkebudayaan).
Manusia dalam hidupnya menghasilkan apa yang disebut dengan budaya (kebudayaan) itu.Sebagai mana pernah di sampaikan oleh tokoh pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara bahwa kebudayaan itu berasal dari dua suku kata yaitu BUDI dan DAYA.
Budi dan Daya untuk apa tidak lain untuk menghadapi tantangan alam dan zaman.
Alam dan zaman merupakan sirkulasi kondisi yang selalu bergerak dan berkesinambungan.
Misalnya kita dapat mempelajari makna philosofi masyarakat (hukum) adat antara lain . "Sekali air gadang" (bahasa Minangkabau) sekali itu juga tepian beranjak.
Dalam kondisi air tidak bersahabat tentu akan berdampak perubahan alam di sekitar pelayannya.
Sekali aturan berubah baik dalam situasi normal apalagi tidak normal pasti berdampak negatif terhadap kehidupan manusia sebagai suatu komunitas bisa bernama, keluarga, masyarakat, bangsa maupun Negara.
Ada beberapa adagium ataupun slogan slogan yang menjadi petuah phuyang kita dulu untuk menyampaikan atau mentransfer tahu dan pengetahuan akhir menjadi ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan merupakan kumpulan tahu- tahu, kata filsafat ilmu: Poejawiyatna, dalam bukunya filsafat ilmu)
Antara lain slogan itu berbunyi, sesuai dengan kondisi kita dewasa ini yang sedang populer di dengar dan dibaca di media sosial baik cetak maupun elektronik singkatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Misalnya yang bermakna: kalau kita mau membersihkan lantai (menyapu), maka bersihkan dulu alat penyapunya itu.
Kalau mau menjernihkan air di muara maka bersihkan dulu air dari hulunya.
Inilah beberapa pelajaran dari alam semesta untuk menjadi guru bagi manusia sebagai Khalifah di dunia fana ini.
Sehingga kalau kita Ingin aman dan amanah tentunya kita konsekuensi dan konsisten menjalankan aturan aturan yang telah disepakati bersama.
Tentu untuk merubahnya perlu kesepakatan kembali (terwakili secara representatif) guna menjaga kesinambungan berbangsa dan bernegara. Kalau istilah ketatanegaraan Indonesia hidup berdasarkan nilai nilai dari butiran lima sila Pancasila.
Yang tercermin dalam pembukaan UUD NKRI tahun 1945. Untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dan makmur dalam berkeadilan.
Tanpa memberikan keistimewaan kepada individu, kelompok tertentu.
Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ingat pesan pidato Bung Karno saat beliau menyampaikan pidato pengukuhan sebagai penerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gajahmada Yogyakarta, beliau mengatakan bahwa Pancasila itu merupakan galian atau perumusan (bukan ciptaan nya seperti pidatonya NOTONAGORO sebagai Promotor nya, ataupun kata Ki Hadjar Dewantara, yang dikutip oleh NOTONAGORO tersebut.
Jadi sudah terlihat sinkronisasi antara philosofi masyarakat Indonesia yang harus berguru dengan alam bagi makhluk yang bernama manusia apalagi manusia berkebudayaan Pancasila.
Kalau pun mau mengambil bahasa agama yang sering disampaikan para dai dalam kesempatan ceramah ataupun tauziah mereka yang mengatakan bahwa alam merupakan pedoman hidup harus dimaknai sebagai ayat-ayat kitab suci yang harus dipedomani yang bukan saja tertulis dalam bentuk kitab suci saja (Al Quran).
Prof. Dr. Soeripto SH dalam pidato pengukuhan nya sebagai Guru Besar ilmu hukum adat di Universitas Brawijaya Malang tahun 1969, mengatakan hubungan Pancasila dan Hukum Adat itu sebagai hubungan antara yang tidak dapat dipisahkan Pancasila sebagai sumber pengenal adat sebagai sumber kelahiran.
Kalau dalam masyarakat (hukum) adat mengenal asas musyawarah untuk mufakat kenapa harus diputuskan dalam voting sebagai ciri demokrasi liberal (voting- one man one vote), kelompok atau pendapat yang minoritas tersingkir dari suara terbanyak (walaupun suara terbanyak itu belum benar, adil ) . Apalagi benar dan adil menurut Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia baik hukum dasar tertulis maupun hukum dasar tidak tertulis.
Kalau dalam masyarakat mengutamakan adab, nilai, kejujuran kenapa harus berpikir pola kebendaan dan formalistik dan rasionalitas tentu itu tidak sesuai dengan kemampuan founding father yaitu Dekonsentrasi Pancasila (demokrasi hukum-politik , ekonomi, sosial dan budaya). Seperti kata Bung Hatta dalam bukunya Demokrasi kita.***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan