Breaking News

HAM Pasca Amendemen UUD 1945

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Tidak dapat dipungkiri, amendemen UUD 1945 masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak problem kebangsaan yang musti nya diatur langsung dalam UUD, namun tidak atau belum tercantum di dalam nya. Sebaliknya, barang kali terdapat beberapa points yang musti nya tidak dimasukkan, tetapi dimasukkan dalam UUD. Namun bukanlah konstitusi harus tetap dan senantiasa hidup (living constitution) sesuai dengan semangat zaman (zeigeist), realita dan tantangan zamannya?.

UUD 1945 bukan lah sekedar cita cita atau dokumen bernegara, akan tetapi dia harus diwujudkan dalam praktiknya dalam berbagai persoalan bangsa akhir akhir ini.

 Misalnya masih sering terjadinya pelanggaran HAM terjadi. Taruhlah misalnya kasus pembunuhan aktivis Munir, kasus penggusuran warga, jual beli bayi, aborsi dan seterusnya.

Di bidang HAM masih banyak terjadi perlakuan diskriminatif antara si kaya dan si miskin, hukum memihak kekuasaan, korupsi dan kolusi di pengadilan dan lain lain. Demikian pula masalah kesenjangan sosial, busung lapar, pengangguran dan kemiskinan. Realitas kehidupan di atas hendaknya menjadi bahan refleksi bagi seluruh komponen bangsa Indonesia.

Pada posisi ini, amendemen UUD 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia. Tiga hal yang belum tersentuh amendemen UUD 1945, adalah bagaimana cara rakyat menarik kedaulatan nya, penegasan mengenai supremasi otoritas sipil atas militer, serta penegasan dan penjaminan otonomi khusus dalam konstitusi. (Lihat Ali Masykur Musa,2009:145).

Terdapat 10 pasal HAM pada perubahan UUD 1945. Pencantuman HAM dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A sampai dengan 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan orde Baru, yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan penghormatan terhadap HAM sebagai antitesa dari berbagai kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengabaikan aspek aspek itu.

Memang, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPRS RI nomor XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang di dalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam sidang istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 tahun 1999.

Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28 A sampai dengan 28 J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis.

Kecurigaan bahwa konsep HAM yang diadaptasi oleh bangsa Indonesia selama ini dari Barat diantisipasi oleh amendemen pada Pasal 28 J. UUD 1945 yang mengatur adanya pembatasan HAM. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28 J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan individualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi.

Ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaan nya oleh negara. Karena itulah Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, Penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.

Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan implikasinya yaitu berkaitan dengan proses dan dengan substansi yang diatur peraturan perundang-undangan. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan harus dilakukan tranparansi dan melibatkan rakyat untuk memenuhi hak asasi warga untuk memperoleh informasi dan hak warga negara berpartisipasi dalam pemerintahan.

Sehubungan dengan substansi peraturan perundang-undangan maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan:

Pertama, pengaturan yang membatasi HAM hanya dapat dilakukan dengan undang undang dan terbatas yang diperkenankan sesuai dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Karena itu peraturan pemerintah, peraturan presiden dan seterusnya ada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM.

Kedua, subtansi peraturan perundang-undangan harus selalu sesuai atau sejalan dengan ketentuan ketentuan HAM yang ada dalam UUD 1945.

Pelanggan terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat menjadi alasan bagi seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk menyampaikan permohonan pengujian terhadap Undang Undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan UUD dapat saja undang undang tersebut sebahagian atau seluruhnya dinyatakan tidak berkekuatan mengikat. Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk undang-undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi.

Dengan proses yang demikian menjadikan UUD kita menjadi UUD yang hidup, dinamis dan memiliki praktikal yang mengawal perjalanan bangsa yang demokratis dan menghormati HAM.

Namun, penegakan HAM tidak akan terwujud hanya dengan mencantumkannya saja dalam konstitusi. Semua pihak berkewajiban mengimplikasikan nya dalam seluruh aspek kehidupan. Kita menyadari penegakan HAM tidak seperti membalik telapak tangan. Ia harus diawali dari level paling mikro, yaitu diri sendiri.

Baik dari warganegara nya, penyelenggaraan pemerintahan dan seterusnya, tanpa menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah disepakati bersama antara pemegang kedaulatan yaitu RAKYAT dan yang diberi kedaulatan oleh rakyat yaitu PEMERINTAH. ***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan