Breaking News

Fenomena Baru Kalangan Siswa-Siswi SMA Negeri 1 Cimarga



Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya)

Jendelakita.my.id. - Perseteruan antara murid, guru, dan orang tua/wali sudah sering kita dengar, baca, dan lihat terjadi di lapangan. Ada yang diselesaikan dengan baik (damai), namun tidak sedikit pula yang terpaksa ditempuh melalui jalur hukum. Fenomena seperti ini sebenarnya sudah biasa terjadi. Namun, ada juga hal yang menarik untuk dianalisis, yaitu peristiwa yang terjadi di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Jawa Barat.

Di sekolah ini, sebanyak 654 murid melakukan aksi solidaritas terhadap temannya dengan melakukan mogok masuk sekolah selama kepala sekolah mereka diberhentikan dari jabatannya. Aksi mogok seperti ini, menurut pengetahuan penulis, baru kali ini terjadi, dengan jumlah siswa-siswi yang begitu besar menunjukkan sikap perlawanan melalui aksi mogok. Mereka bahkan tidak tanggung-tanggung membentangkan spanduk besar bertuliskan ajakan untuk beraksi mogok di atas pintu gerbang utama sekolah.

Terlepas dari peristiwa sebelumnya, kita tidak akan menelusurinya lebih jauh, baik dari sisi murid, orang tua, maupun guru yang terlibat. Di sini, kita mencoba menganalisis mengapa fenomena mogok ini bisa terjadi dan apakah ada faktor penyebabnya. Solidaritas adalah kata sifat yang berarti satu rasa (senasib) atau perasaan setia kawan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 853).


Tentu muncul pertanyaan: apakah gerakan mogok tersebut didasari oleh rasa sakit hati akibat teman mereka ditampar oleh kepala sekolah karena ketahuan sedang “merokok” di lingkungan sekolah? Pertanyaan selanjutnya, apakah solidaritas tersebut muncul karena larangan merokok di sekolah (sehingga harus dibolehkan merokok di lingkungan sekolah padahal sudah ada aturan larangan merokok), atau karena “tamparan” itu sendiri? Jika alasan utama adalah tamparan, maka ke depan perlu dipahami bahwa tidak boleh seorang guru menyentuh atau menampar siswa, sekalipun dengan niat mendidik kedisiplinan. Tentu, hanya 654 siswa-siswi itu yang benar-benar mengetahui alasan sebenarnya.

Mungkin saja aksi tersebut dipengaruhi oleh slogan dalam dunia pendidikan yang populer beberapa tahun terakhir, yakni Belajar Merdeka atau Kampus Merdeka di lingkungan perguruan tinggi. Seolah-olah semuanya merdeka untuk melakukan apa saja. Jika aksi mogok seperti yang dilakukan para siswa-siswi tersebut dibiarkan, maka hal itu akan menjadi kebiasaan yang kurang baik karena merendahkan dunia pendidikan. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan aksi-aksi mogok (solidaritas) yang sering kita lihat di media massa maupun media sosial, baik cetak maupun elektronik.

Inilah tugas berat bagi kita semua untuk memperbaiki dan menjaga etika serta aturan di sekolah. Sebab, sekolah merupakan dapur tempat mencetak tunas-tunas bangsa yang tangguh dan setia pada nilai-nilai Pancasila.