Politik Hukum di Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan)
Jendelakita.my.id. - Baru saja kita memperingati Hari Lingkungan Hidup pada 5 Juni 2025. Seiring dengan dinamika dan tuntutan perubahan masyarakat melalui reformasi yang menghendaki demokratisasi, peraturan perundang-undangan di sektor sumber daya alam mengalami pergeseran paradigma. Hal ini tampak pada peraturan yang mengatur secara umum, antara lain Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Penataan Ruang, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Pokok Agraria. Pergeseran paradigma tersebut terutama berkaitan dengan prinsip-prinsip pembangunan manusia berkelanjutan di sektor sumber daya alam.
Pergeseran ini telah bermuara pada lahirnya regulasi yang tumpang tindih, terjadi benturan antar undang-undang sektoral, serta regulasi yang tidak berpihak kepada masyarakat adat atau tradisional. Kebijakan pengaturan (regulasi) di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki keterkaitan erat dengan aspek hukum agraria.
Mahfud MD, mengutip pendapat Venn, menyatakan bahwa cakupan agraria meliputi:
-
Bumi, termasuk benda di atas permukaan bumi, benda yang ditanam, dan benda yang tumbuh di atasnya;
-
Air, mencakup perairan laut, perairan pedalaman, serta bumi di bawah permukaan perairan;
-
Ruang angkasa, mencakup angkasa di atas perairan dan di atas daratan.
Namun, saat ini istilah agraria sering kali digunakan dalam arti sempit, yakni hanya sebatas tanah. Oleh karena itu, upaya pembaruan terhadap Undang-Undang Pokok Agraria harus mempertimbangkan dan meletakkan dasar-dasar politik hukum terhadap aspek-aspek agraria yang lebih luas. Peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang bersifat sektoral seharusnya mengikuti filosofi dasar yang termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria.
Penggunaan istilah agraria dalam arti sempit telah memunculkan hukum-hukum sektoral yang berbenturan dengan hukum tanah. Oleh karena itu, diperlukan penataan regulasi dalam kerangka politik hukum yang mengarah pada harmonisasi hukum, baik pada tingkat pusat maupun daerah, termasuk dalam bentuk peraturan daerah (Perda) di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Pemerintah daerah, bersama dengan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah sesuai dengan UUD 1945, memiliki keinginan yang besar untuk membentuk regulasi daerah di bidang sumber daya alam sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Namun, keinginan ini sering kali tidak diimbangi dengan pemahaman terhadap materi muatan dalam Perda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pembentuk undang-undang dituntut memiliki konstruksi berpikir yang holistik, berdasarkan cita hukum Pancasila (rechtsidee). Norma-norma yang tertuang secara eksplisit dalam setiap pasal perundang-undangan sejatinya merupakan konkretisasi dari nilai-nilai yang digali dari kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, terlepas dari kepentingan politik, kekuasaan, blok-blok partai, atau pembelaan terhadap konstituen tertentu.
Lebih jauh, dalam proses legislasi hingga implementasi, diperlukan sosialisasi yang menyeluruh kepada berbagai lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat agraris, masyarakat pesisir, masyarakat industri, hingga masyarakat di era teknologi informasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam norma hukum harus dapat diterima oleh semua kalangan, bukan hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga membawa kemanfaatan dan implikasi sosiologis bagi rakyat.
Struktur masyarakat Indonesia memiliki dua ciri unik: horizontal dan vertikal.
Secara horizontal, masyarakat terdiri atas kesatuan-kesatuan sosial yang berbeda berdasarkan suku, agama, adat, dan daerah.
Secara vertikal, terdapat perbedaan lapisan sosial antara masyarakat agraris, industri, hingga masyarakat digital.
Di satu sisi, sebagian masyarakat masih berkutat di bidang agraria; di sisi lain, ada yang telah melangkah ke dunia industri, bahkan ke tahap informasi. Oleh karena itu, penting bagi para legislator untuk juga berperan sebagai sosiolog dan antropolog yang memahami budaya lokal demi memperoleh dukungan dari seluruh lapisan masyarakat.
Di sinilah letak persoalan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Maka, regulasi dan peraturan perundang-undangan perlu disusun secara menyeluruh, dari tingkat nasional hingga provinsi dan kabupaten/kota. Saat ini, sedang hangat diperbincangkan mengenai pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua, yang telah dikelola sejak tahun 2017 dan diduga berpotensi merusak sumber daya alam serta lingkungan hidup.