Perlukah Gubernur Dipilih Melalui Pilkada?
Jendelakita.my.id. - Mengacu pada alur pikir dalam Naskah Akademik Kaji Ulang UUD NRI 1945, yang merupakan hasil kajian kolaboratif antara para purnawirawan TNI/Polri dan akademisi dari 60 perguruan tinggi di Indonesia (salah satunya Universitas Sriwijaya), terdapat pandangan bahwa baik provinsi maupun kabupaten/kota merupakan wilayah administrasi sekaligus daerah otonom.
Dalam konteks wilayah administrasi, terdapat perbedaan mendasar antara gubernur dengan bupati/wali kota. Gubernur berperan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sedangkan bupati atau wali kota tidak memiliki peran tersebut. Bila kedua tingkat pemerintahan tersebut dianggap sebagai daerah otonom, maka muncul pertanyaan: otonomi dalam bidang apa yang diberikan oleh provinsi kepada kabupaten/kota?
Dari sinilah pentingnya rekonstruksi ulang pembagian daerah dalam kerangka konsep sebagai berikut: otonomi daerah provinsi diberikan status otonomi terbatas, yakni hanya mengatur dan mengurus bidang-bidang yang berkaitan dengan manajemen kewilayahan. Sementara itu, otonomi yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota.
Konsekuensinya, jika gubernur hanya diberikan kewenangan terbatas sebagai kepala daerah provinsi, maka perannya lebih tepat sebagai penyelenggara negara setingkat menteri yang ditunjuk oleh presiden. Dalam kerangka ini, provinsi tidak lagi memerlukan keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan istilah "Gubernur Kepala Daerah" tidak lagi relevan. Gubernur cukup disebut sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
Dengan demikian, provinsi diposisikan sebagai wilayah administratif dengan otonomi terbatas dan tanpa DPRD. Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang berasal dari utusan daerah juga perlu ditinjau ulang, dengan mengambil utusan dari daerah otonom tingkat kabupaten/kota. Begitu pula utusan golongan (seperti adat, agama, dan lainnya) juga diambil dari daerah otonom tingkat kabupaten/kota.
Gagasan dalam Naskah Akademik Kaji Ulang UUD NRI 1945 tersebut, menurut kajian penulis sebagai pengamat hukum (khususnya yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat sesuai Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945), dianggap tepat. Alur pikir tersebut juga sesuai dengan sejarah ketatanegaraan Indonesia, khususnya yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 (naskah asli), yang menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil ditetapkan dengan undang-undang, dengan memperhatikan dasar musyawarah serta hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa.
Penjelasan lebih lanjut dalam Pasal 18 UUD 1945 (naskah asli) menyebutkan bahwa daerah yang bersifat istimewa meliputi entitas seperti nagari di Sumatera Barat dan marga di Palembang, Sumatera Selatan.
Dalam konsep kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Selatan, marga terbentuk dari ikatan genealogis yang kemudian berkembang menjadi komunitas masyarakat hukum adat yang terikat secara genealogis sekaligus teritorial. Dalam terminologi hukum adat, komunitas ini dikenal sebagai serikat dusun/desa.
Menurut Prof. H. Amrah Muslimin, S.H., Guru Besar Hukum Administrasi Universitas Sriwijaya, dalam bukunya Sejarah Perkembangan Dusun/Marga di Sumatera Selatan, tercatat bahwa pada saat dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 tanggal 23 Maret 1983 (berlaku mulai 1 April 1983), terdapat 188 marga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.
Secara sosiologis, masyarakat hukum adat tersebut tinggal bersama dalam satu wilayah, mulai dari komunitas terkecil (satu phuyang), berkembang menjadi dusun, lalu menjadi marga, yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat pada tingkat terendah di wilayah kabupaten/kota (secara administratif).
Dengan dua argumentasi—yakni historis dan sosiologis—yang telah diuraikan, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan tim penyusun Naskah Akademik Kaji Ulang UUD NRI 1945 sangat relevan. Konsep ini menegaskan bahwa kabupaten dan kota seyogianya ditetapkan sebagai daerah otonom dengan kewenangan seluas-luasnya, namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pengaturannya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Bupati/wali kota sebagai kepala daerah beserta perangkatnya (DPRD) dipilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada). Sementara itu, gubernur sebagai kepala provinsi tidak lagi dipilih melalui pilkada, tetapi ditunjuk oleh presiden karena fungsinya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Konsekuensinya, DPRD tingkat provinsi yang dahulu menjadi mitra gubernur tidak lagi diperlukan, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di tingkat provinsi dapat ditiadakan.