Hikayat Seputar Manusia Terbaik
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Dalam hadits dijelaskan, bahwa manusia terbaik ialah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Di sini tingkat kebaikan manusia dilihat dari seberapa besar manfaat yang dia kontribusikan bagi saudaranya, bagi alam semesta, dan kehidupan. Untuk meresapi makna ini, mungkin kita ambil beberapa contoh:
Lebih baik dari ibadah Haji yang kedua kali.
Dikisahkan, suatu saat Hasan Al Bashri memerintahkan beberapa murid nya agar memenuhi kebutuhan seseorang. Dia berkata, wahai murid muridku, temui segara Tsabit Al Bunani dan pergilah kalian bersama nya". Lalu, mereka menghampiri Tsabit Al Bunani yang ternyata sedang asik melakukan i'tikaf di masjid. Rupanya Tsabit tetap ingin i'tikaf, dia mohon maaf karena tidak dapat pergi sama mereka.
Akhirnya murid murid Hasan Al Bashri itu kembali. Dia melaporkan keadaan Tsabit yang enggan meninggalkan ibadahnya. Lalu Hasan Al Bashri berkata: tolong katakan kepada nya. Wahai Tsabit Al Bunani, apakah engkau tidak mengetahui, bahwa setiap langkah kaki yang engkau gerakan dalam rangka membantu saudara mu, itu jauh lebih baik bagimu dari pada melakukan ibadah haji yang kedua kali nya?.
Kemudian mereka menemui Tsabit dan menyampaikan pesan seperti yang diucapkan oleh Hasan Al Bashri. Alhamdulillah, hati Tsabit terbuka. Dia pun segera berangkat memenuhi ajakan teman teman nya untuk membantu saudara nya yang lain.
Langit Tak akan mengguyurkan Hujan Emas
Umar bin Khatab Ra, merasakan keheranan. Kedua bola matanya tertuju ke seorang pemuda gagah yang duduk lama lama di masjid. Dia larut dalam kekhusyukan ibadah. Namun sayang nya, biaya hidup sehari hari nya menjadi beban dan tanggung jawab masyarakat. Umar lalu menyuruh pemuda itu keluar dari masjid itu menyingsingkan lengan baju untuk bekerja keras memenuhi hajat sehari hari.
Umar berkata, sesungguhnya langit itu tidak akan pernah menurunkan hujan emas atau perak.
Lihatlah, begitu tegasnya Umar kepada sang pemuda. Hal ini dilakukan demi kebaikan nya. Umar mendorong pemuda itu agar bekerja keras mencari nafkah diri dan keluarganya, setelah dia memanjatkan doa doa.
Bukan berarti Umar melarang pemuda itu ber i'tikaf di masjid, karena bagaimana pun duduk berzikir dan i'tikaf adalah ibadah yang sangat mulia. Akan tetapi, di sini ada skala prioritas yang musti disadari. Bekerja untuk menghasilkan upah, dengan upah seseorang bisa memberi kebahagiaan untuk dirinya, keluarga dan orang orang yang dicintainya.
Allah berfirman yang artinya.
Maka jika sholat berjamaah sudah ditunaikan, bertebaran lah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah (rezeki), dan berzikirlah mengganti Allah sebanyak banyaknya, agar kalian mendapat keuntungan (al-Jumuah: 10).***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan