Demokrasi Transaksionalisme
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Demokrasi
yang kita praktekkan sekarang ini dilakukan dengan biaya yang sangat tinggi.
Bahkan tidak dapat dipungkiri di lapangan telah terjadi
praktek demokrasi Transaksionalisme, di mana dalam praktiknya suksesi
kepemimpinan untuk mendapatkan dukungan, atau kerjasama tim sukses senantiasa
berkolaborasi dengan dana yang sangat tinggi.
Bahkan secara umum diketahui bahwa seorang Bupati Kepala
Daerah atau Gubernur, telah mengeluarkan biaya yang sangat tinggi, untuk
transaksi pemilihan, belum lagi untuk kampanye, untuk tim sukses, bahkan ada
yang mencapai puluhan milyar rupiah lebih.
Sehingga banyak orang mempertanyakan jikalau untuk modal,
pemilihan calon Bupati Kepala Daerah, Gubernur, Walikota, anggota DPR,
seseorang sudah mengeluarkan dana yang demikian besar, setelah menjabat gaji
mereka secara formal apakah mampu mengembalikan modal pesta demokrasi
tersebut?.
Selain itu dengan tesis bahwa demokrasi senantiasa harus didukung dengan biaya yang sangat tinggi, maka negara Indonesia ini akan dikuasai oleh orang orang yang berkapital.
Kapabilitas dan kualitas kepemimpinan nampak nya tidak dipentingkan dalam demokrasi kita, namun uang, kepopuleran dan ambisi kedudukan.
Nampaknya episode wayang Jawa digunakan sebagai calon
refleksi semiotis dalam sistem demokrasi kita dalam istilah Prof. Dr. Kaelan,
MS yaitu PETRUK DADI RATU, benar benar terjadi pada bangsa ini (Kaelan, 2016:188).
Terlebih lagi ongkos dalam arti non material, seperti
kekerasan, fanatisme primordial, kerusakan fisik, merosotnya persatuan dan
kesatuan bangsa serta lemahnya keharmonisan dan kohesi sosial (Darwin dalam
Kaelan, ibid).
Nampaknya dalam era pembaharuan dewasa ini terdapat
kekaburan tentang tujuan negara. Reformasi lebih di arahkan pada tujuan negara
untuk mewujudkan demokrasi, dan bukannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kiranya rakyat pantas sangat kecewa, sebab berkah Rizki reformasi menetes ke kantong kantong elit politik, para penguasa negara, serta kalangan kapitalis.
Fakta bahwa sektor sektor ekonomi yang strategis dikuasai oleh sebagian kecil warga, akibatnya anak anak bangsa ini yang berkeliaran meminta minta di perempatan jalan menanti tetesan balas kasihan saudara nya yang mampu.
Itupun kadang kadang diburu dan ditangkapi oleh instansi instansi
pemerintah dengan alasan mengganggu ketertiban umum dan mereka menjalankan
aturan yang berlaku (tentu adalah peraturan yang tidak memikirkan nasib orang
miskin dan terlantar).
Kaelan dalam bukunya berjudul Inkonsistensi dan Inkoherensi
Dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Hasil Amendemen
dengan kata pengantar Dr. Bambang Sadono, SH.MH (ketua badan pengkajian MPR RI)
memberikan contoh di beberapa negara akibat akibat negatif.
1. Menurut Hantington (1991), sepuluh tahun setelah tumbang
nya kediktatoran di Portugal (1974) kegembiraan dan semangat kreatif perlahan
lahan pudar berubah menjadi kekecewaan karena kesejahteraan tidak kunjung
dinikmati rakyat, menjelang tahun 1987 luapan kegembiraan atas demokratisasi di
Amerika Latin menjadi sirna.
2. Pakistan kurang dari setahun Mada transisi proses
demokrasi berubah menjadi kekecewaan karena benturan dengan agama
3. Eropa Timur setahun setelah tumbang nya kediktatoran muncullah kekecewaan yang luar biasa, dan terlebih lagi di Yugoslavia demokratisasi berubah menjadi pertumpahan darah dan revolusi pemusnahan etnis, serta di Srilanka terjadi pertumpahan darah antar etnis.
Selain itu invasi
Amerika ke Afghanistan dan Irak dengan dalih untuk membela demokrasi
mengakibatkan rakyat dua negara itu sampai waktu lama mengalami penderitaan,
perang saudara, yang mengerikan dan setiap saat terjadi pembantaian dan
serangan bom bunuh diri.
Barangkali menjadi bahan refleksi kita lalu bagaimana dengan
negara negara yang tidak demokratis antara lain Arab Saudi, Kuwait, Brunei
Darussalam, Vietnam tetapi rakyatnya hidup sejahtera, pendidikan, air minum,
listrik gratis serta subsidi negara melimpah.
Simpulan dari cerita di atas yang disunting dari bukunya
Kaelan tersebut maka Indonesia haruslah meletakkan demokrasi dengan basis
AGAMA, BERADAB dan mengutamakan KESEJAHTERAAN dan KEHARMONISAN, bukan kebebasan
model LEVIATHAN, melalui adu kekuatan politik di arena gladiator demokrasi.
Mudah mudahan bangsa Indonesia selamat dari ancaman
perpecahan akibat adu domba kekuatan dan kekuasaan.
Pancasila adalah titik keseimbangan antara ilmu dan amal, antara nasionalisme dan internasionalisme, antara asas demokrasi dan musyawarah/mufakat, serta antara pembangunan dan keadilan sosial (Kutipan dari buku beliau berjudul Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, diterbitkan oleh Media Presindo, 2016).
Insya' Allah. Aamiin. ***
*) Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan