Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan)
Jendelakita.my.id – Artikel ini merupakan sekelumit catatan sejarah penulis ketika pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Rencong. Cerita ini kembali teringat meskipun telah berlalu puluhan tahun silam.
Kilas balik ini muncul kembali karena, seperti yang telah kita ketahui bersama, beberapa waktu yang lalu pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan keputusan menteri yang mengalihkan status administrasi wilayah di empat pulau di kawasan Provinsi Aceh menjadi bagian dari wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini menimbulkan dampak yang cukup luas, sebagaimana dapat kita saksikan bersama melalui berbagai reaksi yang viral di media sosial.
Terlepas dari polemik tersebut, penulis mencoba mengenang kembali bahwa Aceh bukanlah wilayah yang asing. Penulis pernah tiga kali menginjakkan kaki di Tanah Rencong, yaitu pada tahun 1981, 1982, dan 1983. Sebagai dosen muda pada masa itu—dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya—penulis ditugaskan oleh lembaga (atas rekomendasi Prof. Mr. Makmoen Soelaiman) untuk mengikuti program doktoral (pola lama) di Pusat Studi Ilmu Hukum Adat dan Islam Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Saat itu, Universitas Syiah Kuala dipimpin oleh Rektor Prof. Dr. Ibrahim Hasan.
Namun, berdasarkan regulasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, program doktoral harus dilalui terlebih dahulu dengan menyelesaikan pendidikan strata dua (S2), kemudian melanjutkan ke pendidikan formal strata tiga (S3). Pada masa itu, hanya ada dua universitas pembina yang memiliki program S2 dan S3, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.
Sejak awal berdirinya, Provinsi Aceh telah diberikan hak khusus atau keistimewaan oleh pemerintah pusat, terutama dalam bidang pendidikan, adat istiadat, dan agama. Dalam bidang agama, Aceh telah memiliki pedoman yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan "Kanun". Hal ini sejalan dengan semboyan masyarakat Melayu: Adat bersendikan Syara', Syara' bersendikan Kitabullah (Al-Qur'an).
Nilai-nilai keagamaan yang kuat itulah yang menjadi jiwa perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan wilayahnya sejak zaman kolonial, baik melawan Portugis maupun Belanda, hingga berakhirnya masa konflik yang ditandai dengan Perjanjian Helsinki.