Sekilas Sejarah “Piagam Jakarta” dalam Menuju NKRI
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum dan Sosial Politik)
Jendelakita.my.id – Pada saat rencana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia beserta Preambulnya ditetapkan pada sidang tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Sementara bagi Republik Indonesia—yang sehari sebelumnya telah diproklamasikan—Preambul tersebut mengalami perubahan. Tujuh kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Sementara itu, kata “Ketuhanan” ditambah dengan frasa “Yang Maha Esa.” Perubahan ini membuat sebagian golongan Islam yang telah “mencapai kompromi dengan susah payah” merasa kecewa.
Semua itu kini telah menjadi sejarah. Hal tersebut tidak dapat diubah kembali, namun semangatnya tetap hidup dan bersemayam di dalam hati sanubari rakyat. Bagaimanakah perasaan seseorang bila sesuatu telah menjadi sejarah? Setuju ataupun tidak, bukan pada tempatnya kita meratapi masa lalu—ibarat menyayangkan susu yang telah tertumpah.
Piagam Jakarta merupakan hasil karya Panitia Sembilan yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Awalnya, nama tersebut diberikan kepada naskah Preambul Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diterima secara bulat pada tanggal 11 dan 16 Juli 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Kala itu, Ir. Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan memberikan penjelasan dalam sidang pleno sekaligus membela hasil kerja panitia. Ia menegaskan bahwa Preambul tersebut merupakan hasil kompromi yang dicapai dengan perjuangan berat antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Memberi nama pada suatu dokumen memang tidak selalu tepat mencerminkan isinya. Apakah golongan Islam bukan bagian dari nasionalis? Tentu saja tidak. Mereka memiliki rasa cinta tanah air yang sama dan tak kalah besar pengorbanannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Maka, setelah penjelasan Ir. Soekarno tersebut, Piagam Jakarta diterima oleh sidang pleno BPUPK pada tanggal tersebut.
Namun, dalam sidang tanggal 18 Agustus 1945 yang membahas pengesahan UUD 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan bahwa tujuh kata penting yang bermakna khusus bagi golongan Islam harus dihapus dari Preambul.
Tonton Juga https://www.youtube.com/watch?v=54a-bof41dI
Dalam beberapa kesempatan, Bung Hatta menulis dan menceritakan peristiwa-peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan. Hal itu dilakukannya untuk meluruskan kesalahpahaman atas peristiwa-peristiwa tersebut, agar tidak ada pihak yang seolah-olah mengklaim bahwa proklamasi adalah jasa satu orang semata. (Lihat: Mimbar Indonesia No. 32/33 Tahun 1951).
Hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta mengundang beragam tanggapan. Jenderal Alamsyah (mantan Menteri Agama) menyebut Pancasila sebagai hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia. Sedangkan Bapak Kasman Singodimedjo, salah satu wakil umat Islam yang turut memberikan "hadiah" tersebut, merupakan anggota PPKI yang hadir dalam rapat 18 Agustus 1945 dan ikut serta dalam proses lobi yang dipimpin oleh Bung Hatta untuk menghapus tujuh kata itu. (Lihat: Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia, 1945–1949).
Pendek kata, Bung Hatta berhasil dalam melakukan lobi tersebut. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kedudukan beliau yang sangat penting dan dihormati dalam kalangan bangsa Indonesia. Pada kata “Ketuhanan” kemudian ditambahkan frasa “Yang Maha Esa.” Usulan perubahan ini diajukan oleh Ki Bagus Hadikusumo (idem).
Baca Juga https://www.jendelakita.my.id/2025/06/sejarah-nama-indonesia.html
Pengertian dan kesadaran tentang “Tuhan Yang Maha Esa” bagi setiap penganut agama hanya dapat diperoleh dari kitab suci dan sumber ajaran agama masing-masing. Dalam Islam, hal ini berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, falsafah negara yang termuat dalam Pancasila memberikan landasan pemersatu antara warga negara dari berbagai latar belakang agama, serta memperkokoh keberadaan Republik Indonesia yang berdaulat dan kuat.