Politik Transaksional dan Elektoral
Jendelakita.my.id. - Istilah politik transaksional dan politik elektoral muncul secara intensif setiap lima tahun sekali, khususnya dalam momentum pesta demokrasi. Politik transaksional merupakan suatu pendekatan yang dalam istilah awam dapat disebut sebagai hubungan pamrih—yakni relasi yang didasarkan pada proses tawar-menawar antara pihak yang memiliki kepentingan dengan pihak yang dapat memberikan bantuan. Relasi ini umumnya berbentuk pemberian nominal uang atau janji-janji tertentu.
Sementara itu, politik elektoral adalah strategi yang bertujuan untuk memperoleh suara atau posisi tertinggi dibandingkan lawan politik. Kedua bentuk strategi politik ini—politik transaksional dan politik elektoral—menjadi bahan pertimbangan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 135/PUU/XXII/2024, yang merupakan hasil uji materi oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebagai pengamat hukum dan politik, isu ini tentu menjadi bahan kajian yang menarik untuk dianalisis secara mendalam dan menyeluruh.
Politik transaksional sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Praktik ini menciptakan diskriminasi antarcalon peserta pemilu, dan lebih jauh, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan kekuatan modal melalui praktik suap-menyuap. Hal ini jelas dilarang oleh nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tercantum dalam sila pertama Pancasila.
Di sisi lain, politik elektoral hanya berfokus pada perolehan suara tertinggi berdasarkan tingkat popularitas seseorang atau kelompok, tanpa memperhatikan kapasitas atau integritas.
Pandangan ini sejalan dengan pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa keserentakan Pemilu nasional dan Pilkada berpotensi menimbulkan praktik politik transaksional. Hal ini terjadi karena proses rekrutmen bakal calon oleh partai politik tidak dapat dilakukan secara optimal akibat irisan tahapan antara Pilkada dan Pemilu nasional.
Akibatnya, proses pencalonan untuk jabatan-jabatan politik dalam Pemilu membuka peluang luas bagi transaksi politik, sehingga tujuan Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 tidak dapat tercapai secara ideal, bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Partai politik pun akhirnya terpaksa merekrut calon-calon berbasis popularitas semata demi mengejar kemenangan elektoral. Fenomena semacam ini tentu merugikan bangsa dan negara Indonesia karena berpotensi melahirkan pemimpin yang jauh dari harapan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kenyataannya, hal tersebut sudah dapat kita rasakan dewasa ini. Banyak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh lembaga legislatif maupun eksekutif.
Belum lagi strategi lembaga survei yang kerap bermain dengan angka-angka yang disampaikan kepada masyarakat. Tak jarang hasil survei tersebut menyimpang jauh dari kenyataan di lapangan. Fenomena ini kembali bermuara pada relasi transaksional dan elektoral yang telah disebutkan sebelumnya.
Dengan demikian, wajar dan logis jika Mahkamah Konstitusi menjadikan dinamika ini sebagai dasar pertimbangan dalam amar putusan perkara Nomor 135/PUU/XXII/2024 tertanggal 26 Juni 2025.