Pendekatan terhadap Hukum Adat
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan)
Jendelakita.my.id. - Situasi hukum adat di Indonesia sangat kompleks. Berbagai cara pandang atau konsep telah dikembangkan, baik melalui pemikiran hukum maupun peraturan perundang-undangan, untuk memahami situasi kompleks tersebut. Sebagian besar pendekatan ini justru menyederhanakan realitas hukum adat yang ada di lapangan.
Pertama, dalam berbagai peraturan perundang-undangan, hukum adat diakui keberadaannya dengan syarat-syarat tertentu. Persyaratan tersebut tidak hanya mengabaikan kenyataan bahwa hukum adat memang eksis, tetapi juga mengasumsikan bahwa hukum adat bersifat seragam dan murni (puritan). Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini antara lain adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Undang-Undang Perikanan.
Dari sekian syarat yang ditetapkan, terdapat dua syarat yang sangat kental dengan asumsi puritanisme. Pertama, hukum adat harus sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, hukum adat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Alasan pertama seolah menyiratkan bahwa hukum adat tidak mutakhir atau ketinggalan zaman. Padahal, di banyak wilayah, hukum adat telah mengalami ramifikasi substansial sebagai akibat dari sejarah pertemuan dengan berbagai kebudayaan yang saling memengaruhi satu sama lain. Berbagai pengaruh ini masuk ke dalam komunitas-komunitas adat melalui kolonialisme, interaksi dengan hukum negara modern, serta pengaruh dari masyarakat luar, organisasi nonpemerintah (LSM), dan media informasi.
Alasan kedua merupakan kelanjutan dari syarat pertama. Asumsi di balik syarat ini adalah bahwa masyarakat tradisional memiliki hukum yang juga tradisional dan berpotensi bertentangan dengan hukum negara. Oleh karena itu, agar tidak menghalangi keberlakuan hukum negara, hukum-hukum adat tersebut harus "disesuaikan" dengan syarat tertentu. Bahkan, jika tidak memenuhi syarat, hukum adat tersebut dianggap tidak berlaku atau seakan "divonis mati".
Asumsi ini justru menegaskan adanya dinamika perkembangan masyarakat. Di lapangan, hukum negara dan hukum adat telah mengalami berbagai bentuk pertemuan, mulai dari persaingan hingga kerja sama. Di beberapa daerah, khususnya dalam urusan pemerintahan, masih berlaku sistem pemerintahan adat dengan tugas tertentu yang berdampingan dengan pemerintahan desa berdasarkan aturan negara. Bahkan, dalam banyak kasus, kepala adat juga merangkap sebagai kepala desa. Dalam praktiknya, percampuran antara hukum adat dan hukum negara terus terjadi.
Singkatnya, hubungan antara hukum negara dan hukum adat bersifat saling mengisi, dan tidak selalu berada dalam relasi yang tegang, saling menyangkal, atau meniadakan. Satjipto Rahardjo pernah mengemukakan analisis penting mengenai peran hukum adat di tengah masyarakat yang terus berubah.
Hukum adat memiliki fungsi solutif yang lebih mendekati nilai-nilai yang diinginkan oleh masyarakat. Sementara itu, hukum negara sering kali dipandang sebagai sesuatu yang asing dan menjadi beban bagi hukum-hukum lokal. Oleh karena itu, Satjipto Rahardjo masih menyebut hukum adat sebagai hukum yang orisinal karena lahir dari masyarakat adat itu sendiri, bukan dibawa dari luar.
Penjelasan tersebut memang memiliki validitas dalam beberapa aspek. Namun, jika ditinjau dari sejarah dan substansi hukum adat saat ini, penjelasan itu tidaklah cukup. Dari segi basis material, nilai, maupun putusan-putusan hukum, hukum adat telah menjadi sistem yang majemuk di dalam dirinya sendiri.
Daniel S. Lev, misalnya, menggambarkan bahwa sebelum kedatangan Belanda yang membawa sistem hukum modern, perkembangan hukum dalam masyarakat Jawa sudah banyak dipengaruhi oleh hukum Hindu. Sementara itu, di Sumatra, sistem hukum berkembang berbasis struktur keluarga (Lev, 1990:121). Pertemuan-pertemuan dengan Belanda kemudian menghasilkan warna baru yang sangat menentukan dalam perkembangan hukum, terutama dalam konteks pluralisme hukum.