Breaking News

Masyarakat Hukum Adat: Disuruh Lari, tetapi Kakinya Masih Terikat



Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan)

Jendelakita.my.id. - Meskipun terobosan luar biasa telah dilakukan oleh BP MPR RI periode 1999–2004 dalam menyusun draf amandemen yang melahirkan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) tentang kesatuan masyarakat hukum adat yang disetujui oleh Sidang Umum MPR RI tahun 2000, pada tataran pelaksanaannya, pengakuan dan penghormatan terhadapnya dalam UUD NRI 1945 pasca-amandemen justru mengalami kendala. Keadaan ini dapat diibaratkan seperti seseorang yang diperintahkan untuk berlari, tetapi kakinya masih terikat.

Masyarakat hukum adat “diikat” dengan persyaratan dan kriteria sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B ayat (2), yakni suatu kesatuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati beserta hak-hak tradisionalnya selama masih hidup, sesuai perkembangan masyarakat, dan sejalan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Merujuk pada ketentuan tersebut, berarti pasca-amandemen, konstitusi kita telah memberikan ruang untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, meskipun tidak secara eksplisit menunjuk kepada masyarakat adat yang selama ini dikenal secara historis.

Penempatan pengaturan masyarakat hukum adat dalam Bab VI di bawah pemerintahan daerah dinilai tepat karena hukum berlaku di wilayah masyarakat hukum adat adalah hukum yang bersumber dari wilayah tersebut (Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki). Prof. Prajudi Atmosudirdjo bahkan menyebutnya sebagai hukum daerah atau regional recht. Masyarakat hukum adat menerapkan hukum daerah di wilayah hukumnya. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat hukum adat menjadi bagian tak terpisahkan dari daerah otonom yang tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Artinya, pembinaan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat merupakan kewenangan negara, dalam hal ini pemerintah daerah (kabupaten/kota).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 2 ayat (9), juga menyebutkan kriteria pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Lebih lanjut, pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dimuat dalam bagian tentang pemerintahan desa, khususnya terkait pemilihan kepala desa.

Pasal 203 ayat (3) Undang-Undang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa dalam pemilihan kepala desa di kesatuan masyarakat hukum adat, beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya, berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan melalui peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. Penulis berpandangan bahwa peraturan daerah yang dimaksud adalah Perda kabupaten/kota, bukan Perda provinsi. Sebab, provinsi sebagai wilayah administratif tidak memiliki masyarakat hukum adat dalam pengertian komunitas yang berdasar historis, sosiologis, maupun yuridis (IGO–IGOB).

Ketentuan dalam Pasal 203 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah tersebut menunjukkan bahwa pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat hanya diberikan pada tingkat pemerintahan desa. Hal ini juga tercermin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Namun, bentuk pengakuan semacam ini belum sepenuhnya memenuhi amanat konstitusi. Aspek hukum yang tercakup dalam pengertian masyarakat hukum adat tidak hanya terbatas pada pemilihan kepala desa. Pengakuan seharusnya juga mencakup aspek kehidupan lainnya, seperti pengelolaan sumber daya alam.

Di sisi lain, pengaturan dalam UU Pemerintahan Daerah dan peraturan pemerintah yang ada terkesan menyamakan batas wilayah kesatuan masyarakat hukum adat dengan batas administratif desa tertentu. Padahal, dalam kenyataannya, masyarakat hukum adat dapat mencakup wilayah yang lebih luas, bahkan lintas desa, kecamatan, kabupaten, dan kota. Lalu, bagaimana membuktikan bahwa masyarakat hukum adat itu masih eksis? Dan melalui mekanisme apa pengakuan tersebut bisa ditegakkan?

Untuk menjawab pertanyaan terakhir, Pasal 67 ayat (2) menyebutkan bahwa pengukuhan keberadaan dan penghapusan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui peraturan daerah. Penjelasan Pasal 67 ayat (1) memberikan gambaran bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika memenuhi unsur-unsur berikut: (a) masyarakat masih berbentuk paguyuban (rechtsgemeenschap), (b) terdapat kelembagaan adat yang berfungsi, (c) memiliki wilayah hukum adat yang jelas, (d) terdapat pranata hukum, termasuk peradilan adat yang masih ditaati, dan (e) masih melakukan aktivitas pengambilan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pasal ini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat hukum adat, seiring perkembangannya, dapat mengembangkan bentuk kesatuan sosialnya menjadi pemerintahan setingkat desa sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1). Desa yang dimaksud termasuk, antara lain, Nagari di Sumatera Barat, Gampong di Aceh, dan Marga di Palembang (Sumatera Selatan).

Komunitas masyarakat hukum adat berhak menuntut pemerintah daerah masing-masing untuk menetapkan wilayah adat mereka. Sebab, perlindungan negara terhadap entitas masyarakat adat telah diberikan melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Yang perlu didorong adalah partisipasi politik masyarakat adat agar mereka dapat mendorong pemerintah daerah masing-masing untuk menetapkan peraturan daerah dalam rangka melindungi eksistensi masyarakat hukum adat.

Sesuai dengan janji Presiden RI tahun 2006 yang akan membentuk undang-undang yang komprehensif tentang masyarakat hukum adat, maka saatnya janji tersebut ditagih. Salah satu persoalan penting—sebagaimana disampaikan penulis sebagai narasumber dalam Seminar Nasional tentang Otonomi Daerah: Hubungan Pusat dan Daerah dalam Konteks Kaji Ulang UUD NRI 1945, yang sejalan dengan hasil kajian kolaboratif antara Purnawirawan TNI/Polri dan 60 perguruan tinggi se-Indonesia dalam naskah akademik yang dibacakan pada 25 Juni 2025 di Universitas Sriwijaya Palembang—adalah perlunya pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya kepada kabupaten/kota untuk menyusun perda tersebut tanpa harus menunggu persetujuan dari provinsi.

Hal ini mengingat bahwa secara normatif, kewenangan tersebut merupakan bagian dari desentralisasi yang diberikan kepada kabupaten/kota. Dengan terbentuknya peraturan daerah kabupaten/kota mengenai eksistensi dan perlindungan masyarakat hukum adat, maka sembari menanti terbentuknya undang-undang nasional yang dijanjikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono saat memperingati Hari Masyarakat Hukum Adat Sedunia di Taman Mini Indonesia Indah pada Agustus 2006 (yang penulis hadiri sebagai utusan masyarakat hukum adat dari Sumatera Selatan), perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat tetap dapat dijalankan secara efektif.