Breaking News

Masyarakat Hukum Adat dalam Konteks Otonomi Daerah: Kaji Ulang Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945



Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan)

Jendelakita.my.id. - Masyarakat hukum adat merupakan entitas antropologis yang tumbuh secara alami pada bagian tertentu dari muka bumi. Mereka terdiri atas komunitas-komunitas primordial berskala kecil, yang warganya memiliki hubungan darah satu sama lain. Kata kunci untuk memahami masyarakat hukum adat adalah kekeluargaan dan kebersamaan.

Sebaliknya, imperium dan negara nasional adalah entitas politik modern yang bersifat artifisial—dibentuk untuk menguasai seluruh penduduk dalam suatu wilayah yang luas, yang biasanya memiliki sumber daya alam yang melimpah. Dua kata kunci yang menjadi dasar pemahaman atas imperium dan negara nasional adalah kedaulatan dan kekuasaan.

Karena kedua entitas ini—masyarakat hukum adat dan negara nasional—berdampingan di wilayah yang sama dan melibatkan penduduk yang sama, maka secara alamiah akan timbul klaim-klaim yang saling bersaing (competing claims), baik terhadap manusia, wilayah, maupun sumber daya alam. Dalam kompetisi ini, masyarakat hukum adat sering kali berada pada posisi yang lemah. Sebagai komunitas primordial, mereka cenderung bersifat mengayomi dan melestarikan, berhadapan dengan entitas politik modern yang besar dan bersenjata kekuasaan legislatif, eksekutif, serta yudikatif, yang diperkuat oleh aparat penegak hukum dan angkatan bersenjata.

Kita patut bersyukur bahwa salah satu perancang UUD 1945, Prof. Mr. Dr. R. Soepomo, merupakan ahli hukum adat. Ia memahami betul posisi masyarakat hukum adat di Indonesia, sehingga menyertakan pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat adat (volksgemeenschappen). Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (naskah asli), disebutkan satuan-satuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, serta marga dan dusun di Sumatera Selatan yang memiliki hak asal usul yang wajib dihormati oleh negara.

Dalam era reformasi, pengakuan, penghormatan, dan perlindungan negara terhadap eksistensi masyarakat hukum adat berkembang secara kronologis. Dimulai dari:

  1. Ketetapan MPR Nomor TAP XVII/MPR/1998 Pasal 41,

  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Pasal 6),

  3. UUD NRI Tahun 1945 (hasil amandemen kedua) Pasal 18B ayat (1) dan (2),

  4. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 51 ayat 1 huruf b),

  5. UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 53),

  6. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Sebagai kesimpulan sementara, sejak reformasi—ditandai oleh perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali (1999–2002)—pengaturan mengenai masyarakat hukum adat mengalami perubahan. Dari sebelumnya diatur dalam Pasal 18 (naskah asli), kini dituangkan dalam Pasal 18B ayat (1) dan (2). Namun dalam praktiknya, masih terdapat kendala, terutama berkaitan dengan sistem pemerintahan daerah dan belum jelasnya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah.

Permasalahan muncul akibat tumpang tindih kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. Gubernur, sebagai kepala daerah dan sekaligus wakil pemerintah pusat, dipilih langsung oleh rakyat seperti halnya bupati dan wali kota. Padahal kedudukannya berbeda secara administratif. Hal ini menimbulkan disharmoni dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Oleh sebab itu, dalam Naskah Akademik Kaji Ulang UUD NRI 1945 hasil kolaborasi purnawirawan TNI/Polri dan akademisi dari 60 perguruan tinggi se-Indonesia, diajukan usulan addendum terhadap Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945, yaitu:

  1. Otonomi daerah diberikan secara luas kepada kabupaten/kota dalam bingkai NKRI;

  2. Provinsi diberikan otonomi terbatas yang bersifat administratif lintas kabupaten/kota;

  3. Bupati/wali kota tetap dipilih melalui pilkada dan memiliki mitra DPRD;

  4. Gubernur diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR RI sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sehingga tidak memerlukan DPRD Provinsi sebagai mitra legislatif.

Alasan utama usulan ini adalah karena masyarakat hukum adat pada umumnya berdomisili dan hidup di wilayah kabupaten/kota, bukan di tingkat provinsi. Contohnya di Sumatera Selatan, komunitas hukum adat berasal dari satu phuyang (leluhur) yang berkembang menjadi serikat desa atau dusun yang dikenal dengan istilah marga. Berdasarkan catatan Prof. H. Amrah Muslimin, sebelum SK Gubernur Sumsel Nomor 143/KPTS/III/1983, terdapat 188 marga yang berstatus kesatuan masyarakat hukum adat.

Oleh karena itu, pemberian kewenangan otonomi yang luas sepatutnya diberikan kepada kabupaten/kota, bukan provinsi. Pengalaman saya sebagai pengelola lembaga hukum adat sejak 1999 menunjukkan bahwa inisiatif pembentukan Perda tentang masyarakat adat di tingkat kabupaten/kota seringkali terhambat karena menunggu “instruksi” dari gubernur atau provinsi. Padahal, sesuai kewenangannya, kabupaten/kota dapat langsung menyusun Perda tanpa menunggu provinsi.

Sebagai catatan akhir, saya selaku Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan dan Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan 2019–2024, mengusulkan agar rumusan Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 khusus mengenai masyarakat hukum adat tidak lagi menyertakan anak kalimat “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.”
Usulan lengkapnya berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang diatur dalam undang-undang.”

Logika yuridisnya, apabila keberadaan masyarakat hukum adat sudah diatur dalam undang-undang, maka dapat dipastikan bahwa masyarakat adat tersebut masih hidup, relevan dengan perkembangan zaman, dan tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.