Harmonisasi Regulasi Pusat dan Daerah
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.
(Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan)
Jendelakita.my.id – Potensi ketidakharmonisan dalam pembentukan suatu peraturan sangatlah tinggi, karena melibatkan berbagai kepentingan kelompok, politik, dan sosial masyarakat yang membawa beragam perubahan. Perubahan tersebut tentu berdampak signifikan terhadap ketatanegaraan Indonesia. Dalam hal ini, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah Revolutie-Grondwet atau konstitusi yang disusun untuk memenuhi kebutuhan mendesak.
Negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan menjunjung tinggi kedaulatan hukum. Ciri negara yang berkonstitusi antara lain adalah pemerintahan yang dijalankan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum umum, bukan hukum yang sewenang-wenang atau mengesampingkan konvensi dan konstitusi.
Di Indonesia, pembentukan hukum dikenal dengan teori hierarchie atau tingkatan peraturan perundang-undangan. Hierarki ini membentuk kerangka formal dalam penjabaran nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, harmonisasi peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelesaian berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang sudah ada maupun yang sedang disusun, yang mengatur suatu bidang tertentu. Proses sinkronisasi bertujuan untuk memastikan keselarasan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi dilakukan secara vertikal (dengan peraturan yang lebih tinggi) maupun horizontal (dengan peraturan yang setara).
Tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi, dan saling terkait. Semakin rendah jenis peraturan, semakin detail dan operasional materi muatannya.
Namun, harmonisasi antara peraturan pusat dan peraturan daerah sering kali tidak berjalan dengan baik. Dalam sejarah, pernah tercatat implementasi Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah. Hingga Juli 2009, sebanyak 1.152 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah telah dibatalkan. Sebelum UU No. 32 Tahun 2004 berlaku, terdapat sekitar 8.000 perda serupa, dengan lebih dari 3.000 di antaranya terindikasi bermasalah.
Ada enam faktor utama penyebab disharmonisasi sebagai berikut:
a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda.
b. Pejabat pembentuk peraturan berganti-ganti, baik karena masa jabatan, alih tugas, maupun pergantian.
c. Pendekatan sektoral lebih dominan dibandingkan pendekatan sistemik dalam penyusunan regulasi.
d. Lemahnya koordinasi antarlembaga dalam pembentukan peraturan yang melibatkan banyak instansi dan disiplin hukum.
e. Terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan regulasi.
f. Belum mantapnya metode, format, dan standar yang mengikat semua lembaga pembentuk peraturan.
Akibat dari disharmonisasi peraturan antara lain:
a. Timbulnya perbedaan penafsiran dalam implementasi.
b. Ketidakpastian hukum.
c. Peraturan tidak dapat diterapkan secara efektif dan efisien.
Dalam pembentukan peraturan daerah (perda), kita harus memperhatikan semangat dan konstruksi yang termuat dalam UUD 1945 serta penjabaran dalam berbagai regulasi turunannya. Konstruksi pemerintahan daerah dan otonomi daerah diatur dalam Bab VI UUD 1945, yaitu Pasal 18, 18A, dan 18B. Pasal-pasal ini membentuk satu kesatuan yang mengatur susunan pemerintahan, pengakuan terhadap keanekaragaman daerah, serta kerangka otonomi daerah.
Berdasarkan UUD 1945, ciri umum penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Pemerintah daerah dibentuk oleh pemerintah pusat dan dapat dihapus melalui proses hukum.
b. Di wilayah Indonesia dibentuk provinsi, dan di dalamnya dibentuk kabupaten/kota sebagai daerah otonom.
c. Kebijakan desentralisasi dibuat oleh pemerintah pusat, sedangkan pelaksanaan otonomi dilakukan oleh pemerintah daerah bersama DPRD dan masyarakat sebagai cerminan pemerintahan demokratis.
d. Hubungan antara pusat dan daerah bersifat tergantung dan bawahan (dependent and subordinate), berbeda dengan negara federal yang bersifat independen dan koordinatif.
e. Adanya pembagian dan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom.
f. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah.
g. Karena perbedaan sumber daya alam dan manusia di setiap daerah, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sangat penting untuk keberhasilan otonomi daerah.
Berdasarkan Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945, maka hak, kewenangan, dan kewajiban daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri diarahkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Sebagai penjabaran pasal-pasal tersebut, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2020 menyebutkan bahwa tujuan utama pemberian otonomi daerah adalah:
-
Mendorong kesejahteraan dan pemerataan hasil pembangunan.
-
Meningkatkan pemanfaatan potensi daerah secara optimal dan terpadu.
-
Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
-
Menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat.
-
Memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
-
Meningkatkan pelayanan publik dan daya saing daerah.