Cerita di Balik “Qurban Terbaik”
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.
Jendelakita.my.id. - Seseorang yang tidak mau disebutkan namanya berkisah sebagai berikut:
Aku hentikan mobil hitamku tepat di ujung kandang yang berderet di pinggir jalan raya—tempat penjualan hewan kurban.
Suasana di tempat itu sangat ramai.
Pasar hewan “dadakan” ini muncul karena Iduladha sebentar lagi tiba (6 Juni 2025).
Aku masuk ke kerumunan dan tertarik dengan seekor kambing yang sangat besar. Aku pun mulai bertanya harganya.
“Pak, berapa harga kambing cokelat yang besar itu?” tanyaku.
Pedagang menjawab, “Harganya dua juta rupiah pas, tidak bisa kurang.”
Aku mulai menawar, “Bagaimana kalau satu juta lima ratus ribu, ya Pak?”
Pedagang menjawab dengan sopan, “Maaf, Pak. Tidak bisa ditawar.”
Aku pun pindah ke tempat penjual kambing kurban lainnya. Dalam hati aku berkata, kalau bisa dapat yang harganya Rp1.500.000, kan lumayan. Bisa dipakai untuk beli roda belakang X-Trail-ku yang sudah gundul.
Saat sedang mencari kambing lain, datang seorang kakek pensiunan. Ia menaiki sepeda ontel tua dan mengenakan baju seragam Korpri yang lusuh. Ia turun dari sepeda dan langsung menawar kambing super besar kepada pedagang.
Aku diam-diam mengamati dari awal transaksi mereka hingga selesai.
Kakek itu berkata kepada pedagang, “Saya mau beli kambing yang paling besar di sini. Berapa harganya? Tolong dikirim ke rumah saya di sebelah Masjid Mualimin. Semua orang sudah tahu, saya ini pensiunan PNS.”
Pedagang menjawab, “Kambing paling besar di sini harganya dua juta rupiah pas.”
Sang kakek tanpa menawar langsung mengeluarkan bungkusan plastik kresek berisi uang—hasil tabungan selama satu tahun. Pedagang mulai menghitung uang tersebut, dan ternyata jumlahnya Rp2.050.000.
Pedagang berkata, “Kek, uangnya lebih Rp50.000.”
Kakek menjawab, “Lho, tadi sudah dihitung sama nenek di rumah. Memang lebih Rp50.000. Biasanya, yang Rp50.000 itu untuk ongkos kirim.”
Pedagang menjawab, “Dua juta sudah termasuk ongkos kirim, Kek.”
Kakek berkata, “Alhamdulillah... Bisa saya tabung lagi untuk beli hewan kurban tahun depan, 2026.”
Setelah bertransaksi, sang kakek berjalan mengambil sepeda ontelnya, dengan wajah berseri-seri karena telah menunaikan kurban dengan kambing terbaik dan ikhlas karena Allah.
Saat itu juga aku mulai sadar, bahwa selama ini hewan kurban yang aku beli selalu aku tawar. Harganya pun biasa-biasa saja.
Sedangkan sang kakek, yang hanya seorang pensiunan, mampu berkurban setiap tahun dengan kambing super besar.
Padahal, secara materi, aku jauh lebih dari cukup. Aku seorang pegawai aktif, mampu membeli rumah di kawasan bergengsi, memiliki lebih dari satu mobil, dan punya simpanan di bank serta deposito di berbagai tempat. Tapi untuk seekor kambing seharga dua juta rupiah saja, aku masih menawar dan berpikir seribu kali untuk membelinya.
Akhirnya, aku memohon ampun dan beristigfar kepada Allah SWT atas kesalahanku selama ini. Untuk urusan kurban kepada Allah, aku masih penuh pertimbangan duniawi.
Maka saat itu juga, aku membeli kambing super besar seharga dua juta rupiah dengan ikhlas dan hanya mengharapkan rida Allah SWT.
Kisah di atas menjadi renungan bagi kita semua, agar senantiasa ikhlas dalam beribadah dan berlomba-lomba dalam kebaikan, demi menggapai rida Allah SWT. Aamiin.